01 April 2013

Duniaku Tahun 1990-an

Aku tidak tahu apakah mampu menuliskan perasaanku dengan baik. Kau tahu, ada hal-hal yang sulit sekali dijelaskan dengan kata-kata, seperti pengalaman cinta pertamamu, atau ketika kau melihat pelangi di langit setelah bertahun-tahun tak melihatnya.

Sore itu, sengaja aku pergi ke pantai utara Jawa. Kuhabiskan sore berkunjung ke salah satu rumah sahabat di kampung pinggir pantai. Menjelang senja, aku melihat banyak sekali anak berada di tanah lapang. Mereka terlihat bermain satu sama lain. Latarnya adalah landscape langit yang tanpa batas, dengan domba-domba yang berkeliaran mencari rumput. Sang gembala sampai kesulitan mengendalikan mereka di belakang. Sesekali, anak-anak yang bersepeda lewat di depanku, di jalan yang sekian tahun yang lalu masih bermandi lumpur dan bebatuan. Sementara di ufuk barat, matahari sudah tampak enggan bertahan. Sedikit saja sinar yang diberikannya untuk anak-anak yang masih bergembira ria di tanah lapang itu.

Aku seperti melihat masa kecilku.

Suatu masa ketika generasi kami belum mengenal internet dan telepon genggam. Ketika itu, bahkan telepon rumah masih menjadi sesuatu yang mewah. Tidak ada yang namanya warnet (warung internet). Yang menjamur adalah wartel (warung telepon). Tidak banyak hiburan digital bagi kami anak-anak zaman itu. Tetapi justru karena itu, kemudian kami keluar rumah. Bertemu dengan anak-anak lain yang juga keluar rumah.

Kadangkala, di luar kami bermain sepakbola bersama. Tidak jarang, bermain kasti. Kalau bermain kasti, bagian yang paling menyenangkan adalah ketika mampu memukul bola dengan keras, sehingga bolanya terbang jauh. Hal itu memungkinkan teman-teman satu tim bisa homerun. Bagian yang paling menarik lainnya adalah ketika mampu untuk melemparkan bola tepat di tubuh lawan. Adrenalin terpacu hebat, karena sesaat setelah bola mengenai lawan, kita harus sesegera mungkin berlindung di spot-spot yang telah disepakati.


Kadangkala, di luar kami juga bermain sundamanda. Entahlah permainan itu dinamakan apa di daerahmu. Yang jelas, sundamanda merupakan permainan yang cukup mengasyikkan. Seingatku, ada dua jenis sundamanda. Pertama, jenis robot. Kedua, jenis lemari. Dari kedua jenis itu, sundamanda jenis robot lebih dikenal oleh masyarakat umum.




Tidak terlupakan juga tentu layang-layang. Permainan itu bagi kami anak lelaki adalah permainan yang menantang, karena layang-layang yang terbang ke angkasa membawa harga diri kami. Di angkasa, layang-layang kami akan bertemu dengan layang-layang anak-anak yang lain. Bisa ditebak setelah itu. Kami berperang, berusaha untuk memutuskan layang-layang lawan. Ada teknik yang harus dikuasai. Kadangkala, kami harus cepat-cepat menarik layang-layang kami. Pada saat yang bersamaan, kami juga harus pandai mencari celah untuk kemudian mengulur senar yang kami pegang. Ketika menang, kamu akan merasakan sensasi Napoleon Bonaparte. Tangan kananmu mengepal mengacung ke langit, tangan kirimu menggenggam senar gelasmu yang tajam.

Sebelum mahir bermain layang-layang, saya mengawali karir sebagai seorang pengejar layang-layang. Kalau ada layang-layang yang sedang berperang, di sawah saya akan menunggu ada salah satu pihak yang kalah. Begitu terlihat ada layang-layang yang putus, dengan segera kami mengejarnya. Kegembiraan dan seninya bukan main, karena di satu sisi kami harus mengikuti arah layang-layang itu jatuh tertiup angin, di sisi lain kami harus juga mengikuti alur sawah. Sangat kompetitif, karena saya tidak sendirian. Belasan anak-anak lain juga mengejarnya. Kalau sudah begitu, paling senang kalau melihat ada anak yang nyaris mendapatkan layang-layang yang jatuh, tetapi gagal mendapatkannya karena alur sawah yang diikutinya rupanya mengarah ke arah yang lain. Eng ing eng.


Kalau sedang malas bermain layang-layang, aku akan pergi ke sawah dengan seutas senar pendek dengan kail kecil di ujungnya. Misi ditetapkan: memancing belut. Memancing belut bukan hal yang mudah karena beberapa kenyataan berikut:
1. Kadangkala, lubang belut di sawah sudah ditinggalkan oleh sang belutnya.
2. Kemungkinan yang lain, si belut sudah dipancing duluan oleh orang lain.
3. Kalau tidak cermat, kita bisa memancing kepiting, yang lubangnya sedikit lebih besar dari lubang belut.
4. Kalau belut sudah terpancing, tapi lepas dan jatuh ke sawah, bukan main sulit mengambilnya.
Tapi, dengan semua kesulitan tersebut, memancing belut selalu amat mengasyikkan.


Demikianlah, ketika aku melihat sekumpulan anak-anak yang bermain di tanah lapang sore itu, aku seketika merasa haru. Aku seperti melihat masa kecilku. Dan itu yang hilang dari dunia anak-anak perkotaan zaman ini. Mereka sudah sama sekali lain, karena tidak dapat menjadi reflektor dunia anak dari generasi kami.

Ah, aku rindu masa kecilku.

No comments:

Post a Comment