28 November 2010

Agama atau Kekuasaan?

Rabu, 24 November 2010
Kuliah pagi ini cukup menarik. Angelika Rother, si bule Jerman yang selalu memancing perhatian kelas, tampil ke depan kelas dan menyampaikan presentasi. Presentasinya baik, menunjukkan kecerdasan rata-rata orang Jerman dan Indonesia memang berbeda. Tetapi, bahwa momen presentasinya saya masukkan dalam refleksi harian ini, itu bukan soal perasaan belaka. Topik dialog agama di Eropa yang ia bawakan dalam presentasi tadi pagi membawa saya untuk berpikir lebih jauh. Itu yang menarik saya.
Oleh karena itu, refleksi saya kali ini saya bagi dalam dua bagian. Pertama, apa yang Angelika sampaikan dalam presentasi tadi. Kedua, tentu refleksi pribadi saya.

Bagian pertama, presentasi Angelika.
Di awal presentasi, Angelika menyampaikan pertanyaan dasar yang menghinggapi pikirannya: soal dialog agama di Eropa, apakah merupakan sesuatu yang penting bicara soal dialog mengingat hampir semua masyarakat Eropa adalah kristiani?

Selebihnya, yang disampaikan Angelika adalah data, baik visual maupun statistik. Yang bagiku menarik setelah pertanyaan mendasar di atas adalah mengenai konflik soal agama di Eropa. Ada empat contoh yang diberikan Angelika.

Pertama, debat soal jilbab. Jilbab di Eropa bukan soal mudah. Ada negara-negara tertentu yang tidak mudah menerima jilbab. Misalnya, Perancis. Dikatakan Angelika, orang-orang Perancis seolah-olah memiliki alarm pada dirinya jika ada orang menggunakan jilbab lewat. Penggunaan jilbab di negara itu sangat terbatas. Di Jerman lain lagi. Orang diperkenankan saja menggunakan jilbab, tetapi tidak halnya di lingkungan sekolah. Di lingkungan sekolah, siswa yang kesehariannya menggunakan jilbab diminta melepas jilbabnya. Jilbab itu bisa digunakan kembali ketika sekolah usai. Guru pun dikenakan aturan yang sama.

Kedua, kedudukan Turki di Uni Eropa. Sebagaimana diketahui, Turki adalah negara muslim. Kedudukannya di Uni Eropa memancing bermacam-macam reaksi. Ditunjukkan Angelika dalam presentasi tadi sebuah poster yang beredar di Jerman yang isinya kurang lebih menolak kehadiran Turki di Uni Eropa.

Ketiga, soal bangunan masjid. Di Eropa, orang-orang muslim yang menjadi minoritas tidak membangun masjid dengan mudah. Bahkan, menurut Angelika, ketika ada masjid sekalipun, tidak akan terdengar bunyi adzan (prayer calling). Hal itu umum dijumpai di beberapa negara.

Keempat, pada kalangan mayoritas kristen Eropa, ada ketakutan soal adanya gerakan ‘islamisasi’ secara sembunyi-sembunyi.

Bagian kedua, refleksi saya.
Jika data tersebut dicermati, bukankah ada kesejajaran tertentu? Apa yang dialami oleh orang-orang muslim minoritas di Eropa bukankah mirip dengan orang-orang kristen minoritas di Indonesia? Dari sudut pandang yang lain, bukankah mirip juga orang-orang kristen mayoritas di Eropa dengan orang-orang-orang muslim mayoritas di Indonesia?

Sabar, kawan. Mari kita lihat bersama!

Pertama, soal pertanyaan mendasar Angelika. Bukankah mirip halnya, jika pertanyaan itu diajukan oleh orang-orang muslim di Indonesia yang notabene merupakan mayoritas? Pertanyaannya kurang lebih: soal dialog agama di Indonesia, apakah merupakan sesuatu yang penting bicara soal dialog mengingat hampir semua masyarakat Indonesia adalah muslim? Bisa jadi, bagi orang muslim dialog bukan sesuatu yang mendesak. Dialog penting halnya, justru bagi mereka yang berstatus sebagai minoritas, karena berkaitan dengan keberadaan dirinya. Oleh karena itu, pertanyaan itu pertama-tama tidak memiliki kecenderungan apa-apa selain otokritik. Sejauh mana kita berani kritis, dan berani bertanya pada diri sendiri: apakah dialog agama sesuatu yang berarti dan memang diperlukan ketika di pihak saya, tidak ada soal yang mengancam keberadaan diri?

Kedua, hal-hal yang orang-orang muslim minoritas di Eropa alami memiliki kemiripan tertentu dengan yang dialami oleh orang-orang kristen minoritas di Indonesia. Inilah sebabnya saya mengatakan ada kesejajaran tertentu di antara kedua kelompok minoritas tersebut. Soal jilbab yang dibatasi di Eropa, di Indonesia terjadi sebaliknya. Jilbab merupakan hal yang umum dijumpai, bahkan kini semakin banyak institusi pendidikan yang menjadikan jilbab sebagai bagian dari seragamnya. Pergulatan khusus tentu dialami oleh orang-orang kristen minoritas yang diminta mengenakan jilbab sebagai salah satu bagian seragam sekolah. Hal itu terjadi, misalnya, pada beberapa teman kristen saya yang diminta mengenakan jilbab ketika masuk ke salah satu SMA Negeri di suatu tempat tertentu. Soal bangunan masjid yang tidak mudah didirikan di Eropa, contoh lain. Bukankah hal yang mirip juga ditemukan di Indonesia? Pendirian Gereja biasanya tidak mudah prosesnya. Atau soal adanya ketakutan pada orang-orang kristen Eropa soal ‘islamisasi’ terselubung, bukankah hal itu sejajar dengan adanya ketakutan pada orang-orang muslim Indonesia dengan adanya ‘kristenisasi’ terselubung? Setidaknya, hal ini bisa sangat konkret dengan apa yang terjadi baru-baru ini di Gereja Hati Kudus Yesus Ganjuran, Yogyakarta, yang turut menjadi tempat pengungsian korban meletusnya gunung Merapi, ketika didatangi oleh sekelompok tertentu yang merasa cemas dengan segala kegiatan yang terjadi di kompleks Gereja.

Sahabat-sahabatku, kesejajaran tersebut bagi saya menunjukkan satu hal. Segala ketegangan yang terjadi selama ini, bukan pertama-tama soal agama (religion), tetapi lebih soal mayoritas-minoritas (state of being). Tentu, bukan berarti tidak ada hubungannya dengan agama. Kaitan dengan agama tentu ada, tetapi bukan itu yang mendasar. Dengan kata lain, sebenarnya bisa dimunculkan suatu dugaan tertentu, bahwa muatan yang terjadi dalam seluruh ketegangan yang terjadi selama ini bukanlah pertama-tama soal perbedaan agama (religion differences), tetapi lebih soal mayoritas-minoritas (state of being), itu sendiri. Mayoritas-minoritas merupakan soal siapa yang lebih menguasai hal/tempat/keadaan tertentu, soal penguasaan, soal kekuasaan. Fakta menunjukkan, hal-hal sama dialami oleh siapa yang lebih menguasai (mayoritas), juga oleh siapa yang di pihak satunya (minoritas).
Oleh karena itu, akhirnya hanya sikap rendah hati, yang menjadi permohonan dan harapan.

Kerendahan hati untuk bersedia melakukan dialog, yang oleh Rama Suradji dikatakan melekat dengan keberadaan kita, meskipun keberadaan kita nyaman-nyaman saja. Kerendahan hati untuk senantiasa menyadari, bahwa yang saya alami di sini, serupa dengan yang dialami oleh sahabat kita yang berbeda keyakinan di belahan dunia yang lain.

Tidak ada yang lebih indah di dunia ini selain kedamaian pada manusianya.

Catatan terakhir:
Malam ini aku chatting dengan Ian, teman SMP-ku dulu, putranya bu Tati. Obrolan panjang kami membawa aku pada kerinduan tertentu di masa aku tumbuh dewasa dulu. Kerinduan pada teman-teman muslimku, kerinduan pada kehidupan dengan warna muslim yang kental di Bumiayu, kerinduan pada muslim itu sendiri. Sampai tidak sadar, aku menuliskan kata-kata, “Ian, muslim itu bagian hidupku.”. Ya, muslim merupakan bagian hidupku. Bagian yang takkan pernah hilang dari diriku. Bagian yang sangat aku cintai, dan memiliki ruang khusus di hatiku.

No comments:

Post a Comment