Kisah dimulai dari selembar kertas putih yang kosong. Di situ, Tuhan mulai menuliskan bagaimana saya harus menjalani hidup di dunia ini. Lembar demi lembar, guratan sang Novelis Agung menerjang hamparan putih. Ada saat tulisan itu dikacaukan oleh yang menjalani, ada waktunya tulisan semakin indah oleh yang melakoni. Ada tulisan-tulisan kegembiraan, ada tulisan-tulisan kepiluan.
Inilah hidup, suatu novel panjang yang Tuhan tulis. Sebab kita semua lakon yang diciptakan dengan sejarah tertentu. Dalam rumusan yang lain: Tuhan sudah menciptakan plot novel ini, sisanya bagian kita. Satu yang harus kita ingat, novel panjang ini tidak deterministis. Sepanjang hidup, kita bergulat dengan pengalaman memilih.
Berikut beberapa peristiwa penting dalam novel ini:
Aku lahir di Bobotsari. Besar di Bumiayu. Buat temen-temen yang tahu Bumiayu, aku waktu bayi ngontrak di Kalierang. Begitu orangtua ada rezeki, mereka beli tanah di Pagojengan. Rasa-rasanya, ketika tinggal di Pagojengan, aku sudah duduk di bangku TK. Rumahnya pun sangat sederhana. Temboknya cuma bertinggi satu meter dan disambung dengan papan yang dilabur putih. Karena dari papan, rumahku kadang-kadang dimasuki pencuri. Ada juga orang yang masuk rumah cuma mau makan di dapur. Bahkan, ekstremnya orang mandi diintip pun bisa (ha ha..). Meski sederhana begitu, aku tidak pernah kekurangan mainan. Aku masih ingat betul, mainanku ada dua box besar banyaknya. Di luar rumah pun aku bermain layaknya anak-anak lainnya. Aku bermain kelereng, sundamanda, layang-layang, kasti, sepakbola, memancing belut, mencari bekicot untuk lele peliharaan, dsb.
Aku menjalani Taman Kanak-Kanak di TK Kemala Bhayangkari Bumiayu. Di TK itu, ada dua guru yang aku cintai: Bu Sargo dan Bu I’i. Teman-temanku juga ada banyak. Waktu TK, yang aku ingat adalah pengalaman ke-cengeng-an yang aku punya. Waktu itu ada pelajaran melipat kertas. Guru di depan menjelaskan langkah-langkah menyusunnya sembari diikuti oleh kami. Selalu, selalu aku ketinggalan dalam memahami langkah-langkah yang dijelaskan dan dalam membuatnya. Aku merasa tersisih dan begitulah, menangis setiap pelajaran melipat kertas, he he... Oh ya, setiap hari Sabtu pagi, ada makan bersama. Aku paling senang jika makan paginya berupa mie rebus. Bisa nambah lhooo…
Aku kemudian bersekolah di SD Negeri Kalierang 01 Bumiayu. Masa-masa yang indah: aku mulai mencintai sepakbola, mencintai teman-teman putri yang cantik, dan mencintai sekolah itu sendiri. Eh, kabar si Pepeng bagaimana ya teman-teman?
SMP kujalani di SMP yang katanya favorit, SMPN Bumiayu 01. Banyak pengalaman di sana. Kelas satu duduk di kelas sing mbrahol kabeh, 1H, di bawah bimbingan wali kelas bapak Tugiman. Kelas dua duduk di kelas 2G. Lumayan banyak yang cantik tuh di kelas ini, he he... Di situ juga aku gayeng berteman sama Ikang, Tito, Diki, Yohan, terus sapa maning ya.. (kelalen mode: on). Kelas dua aku jatuh cinta yang pertama kali dalam hidupku, yang paling dahsyat juga. Sama Uci, anak SMI, aku bilang di sini. Momennya pas Itajamnas (Ikut serta Jambore Nasional). Jadi kabar dulu yang ngegosipin saya sama Dewi itu keliru 100 persen. Kita deket sebagai sahabat, itu aja. Kelas dua juga aku masuk ranking paralel untuk yang pertama dan terakhir kalinya. Yah, gak terlalu bangga juga sih. Itu kan cuma ukuran untuk kecerdasan kognitif aja. Tidak mewakili seluruh kecerdasan yang kita punya. Bener gak temen-temen? Kelas tiga, yah, koyo ngono kae lah…
SMA kujalani di SMA Seminari Mertoyudan, Magelang. Empat tahun yang luar biasa, mengubah hidup dan cakrawala pikir! Bersama Danasmara, aku maju dan berkembang. Dari yang cupu, di kelas tiga boleh aku termenung, “kok masih cupu juga?” (he he..). di MP, aku dibimbing sama Rm. Galih Arga yang sekarang sedang di Los Angeles dan Rm. Budi Nugroho SJ yang sekarang di Katedral Jakarta. Aku jelas bergulat dengan masalah sosialitas di tahun pertama itu. Tahun kedua aku jalani di bawah bimbingan Rm. Supriya yang sekarang di paroki Kristus Raja Ungaran dan Rm. Erwin Sasmita yang sekarang belajar psikologi di Universitas Gadjah Mada (ambil S2). Di MMI, aku lebih banyak mengolah bakat dan kemampuan-kemampuan diri (meski rasanya, gak ada yang berkembang apa-apa, he he.. orkes gak ikut, musik gak bisa, nulis juga kacangan, olahraga juga gak maksimal..). Tahun ketiga aku dibimbing kembali oleh Rm. Galih Arga. Ini tahun yang hebat, pengolahan hidup sip! Setahun banyak tuntutan studi. Masuk SJ atau Dioses Purwokerto ya? Tahun keempat, pengolahan hidup diperdalam lagi. Di sini, aku dibimbing Rm. Nano SJ yang sedang menjalani tersiat di Australia dan Fr. Bagus SJ yang sedang menyelesaikan S2-nya di Fakultas Teologi Kepausan Wedabhakti Yogyakarta.
Menjalani Tahun Orientasi Rohani di Tegal. Perjumpaan yang mengesan dengan umat terjadi di situ. Mengolah hidup dan kerohanian betul-betul di tempat itu. Proses pendidikan di sini kujalani dengan bimbingan dua imam, Rm. Ary Setyawan dan Rm. Parjono, dan sepuluh teman sepanggilan (lima dari jawa, enam dari Papua): Megandika, Bram, Agung, Bona, Hengky, Abel, Domi, Anton, Ponsi, Darius.
Kuliah filsafat dan teologi di Yogyakarta sampai sekarang.
Ada alasan mengapa yang kecil dan rapuh ini dicintai begitu nyata oleh Ia dan orang-orang di sekitarnya. Rupanya, di balik poin-poin itu ada suatu benih yang tumbuh. Benih yang ditabur oleh Seseorang yang Ia mau aku mengikuti-Nya. Bukan sekedar berjalan di jalan-Nya dan mengikuti-Nya, tetapi hidup seperti hidup-Nya, mencintai dengan hati-Nya, melayani dengan cinta-Nya. Benih itu terus tumbuh, sekalipun kerap aku tidak menyadari pertumbuhannya. Rasanya, inilah yang akhirnya membuat yang kecil dan rapuh ini menjadi berharga.
Entahlah, novel panjang ini masih terus ditulis. Tidak pernah tahu, kapan sang Novelis Agung menutup novel ini. Dengan seluruh kemerdekaan dan kebebasan yang aku miliki, aku serahkan bagaimana tinta melaju dan berhenti di kata ‘fine’. Karena akhirnya aku sadar dan harus selalu percaya, He is the Story Maker and I am just the Decision Maker.
12 November 2010
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment