28 November 2010

Cinta Menghalalkan Kemarahan

Sabtu, 27 November 2010


Kata siapa cinta tidak menghalalkan kemarahan?

Kau boleh melihat setiap pasangan hidup sejati di muka bumi ini. Suruhlah mereka mengenang saat-saat perselisihan. Kenangkanlah mereka saat-saat kemarahan diarahkan pada pasangannya. Aku yakin, dengan mudah mereka teringat pada momen-momen tertentu.

Cinta menghalalkan kemarahan, teman.

Aku sendiri ingat, bapak yang aku kenal sebagai pencinta tanpa kata, ketika aku kecil dulu pernah marah yang hebat pada ibuku. Aku tidak melihat secara persis kemarahannya, tetapi yang jelas kemudian ibu menangis tersedu-sedu di kamar. Melihat ibu yang demikian, waktu itu aku menjadi takut sekali. Bersama adikku, aku sampaikan pada ibu pesan untuk jangan bercerai. Di pihak ibu, mungkin dalam tangis tertawa juga. Tidak akan terlintas perceraian di benak meski pedih karena amarah.

Dan, kau tahu?

Sampai saat ini, sang pencinta tanpa kata itu masih ada di rumah ibuku. Mencintainya sepenuh hati, makan bersamanya. Mereka menyongsong saat-saat pesta emas pernikahannya. Saat itulah, cinta akan merayakan dirinya. Segala pengalaman kemarahan dan pahit dirangkul dan ditebus dengan penuh cinta.

Antara kemarahan dan cinta, itulah juga yang terjadi padaku kali ini.

Murid-muridku rewel, nakal, dan tidak mudah diatur. Normal sekali, membangkitkan kemarahanku di kelas. Mungkin, itulah pertama kalinya aku menyampaikan sesuatu dengan nada yang tinggi di kelas.

Tetapi, apakah ada yang bisa menjawab tanyaku?

Mengapa saat itu juga aku justru merasa cintaku semakin besar?

Entahlah. Aku sendiri kesulitan menjawabnya, apalagi engkau yang hanya membaca refleksiku ini. Yang jelas, ada damai yang begitu sejuk ketika aku melihat wajah anak-anakku di akhir jam pelajaran. Aku membagikan coklat pada mereka satu-satu. Dan satu coklat aku titipkan untuk ibu guru wali kelas. Seusai doa penutup pelajaran, mereka menghambur dari meja ke depan kelas, ingin berjabat tangan denganku. Satu tanganku dikeroyok tangan 32 anak. Ah, lucu-lucunya mereka. Andai aku punya badan sebesar Gajah (eh, yang sekarang sudah se-Gajah ding, he he…), mungkin aku bisa memeluk 32 anak itu sekaligus.


Maafkan pak guru amatir ini yang sedikit marah tadi ya, anak-anak. Frater gendut ini mencintai kalian semua.



2 comments: