18 July 2015

Coincidence

Ibu saya ulang tahun hari ini; begitu pula dengan perempuan yang dulu pernah saya sukai. Sial memang, lalu mau lupa bagaimana. Coba jawab pertanyaan saya: bagaimana mungkin kamu melupakan mantanmu kalau tanggal ulang tahunnya sama dengan ulang tahun ibumu? Perempuan itu bukan mantan saya sih, malah sebenarnya sayalah yang jadi mantan dia: mantan fanboy. Bahwa saya tidak pernah lupa padanya, selain karena persoalan tanggal ulang tahun itu, mungkin juga karena dia adalah perempuan yang saya suka sebelum saya masuk seminari.

Jadi, kebetulan itu namanya. Coincidence. Dulu pas masih tergila-gila, senang sekali saya pada kebetulan soal ulang tahun ini. Bagaimana tidak, kan saya jadi tidak perlu susah-susah mengingat tanggal ulang tahun perempuan yang saya suka? Sekarang lain. It means nothing. Atau kalau boleh dihaluskan, bolehlah pinjam kata-kata Johan Cruyff, "Coincidence is logical". It is not something supernatural. Kebetulan itu sekarang sekadar bermakna dua orang penting dalam hidup saya diberi anugerah hidup baru. That's all.

Pertama, ibu.

Ibu datang ke tempat tinggal saya di Purwokerto pagi ini. Ia mengajak saya pergi ke Semarang untuk menengok kakek yang sedang sakit. Ketika beliau datang, wajah dan senyumnya berpendar terkena matahari pagi. Sambil saya rangkul lengannya, saya berkata, "Selamat ulang tahun ya, Bu." Lalu saya berikan kado sederhana yang saya siapkan. Sebuah poster karikatur beliau.


Beliau tampak gembira mendapatkan kejutan kado itu. Mungkin karena cinta dan perhatian saya beliau rasakan. Atau bisa jadi juga karena beliau merasa karikaturnya mirip dan lucu. Melihatnya, saya lebih bahagia. Kado saya sukses, batin saya. Credit untuk Pak Yani yang membuatnya. Beliau bisa menafsir foto dan menterjemahkannya dengan amat baik. Foto yang saya serahkan pada beliau sebenarnya ini:


Nah, lain kan dengan hasilnya. Sebelumnya saya sendiri coba edit pakai Photoshop. Hasilnya kalah jauh dengan buatan Pak Yani. 


Itulah ibu, perempuan sederhana terpenting dalam hidup saya. Beliau tidak suka mengatur, tetapi perhatiannya sampai ke ujung rambut suami dan anak-anaknya. Beliau tidak cerewet dan banyak bicara, tetapi hidup beliau hayati dengan sukacita dan ceria. Saya tidak akan mengatakan beliau ibu yang sempurna atau terbaik, sebab saya tidak ingin ibu diperbandingkan dengan siapapun. Yang ingin saya katakan adalah bahwa beliau telah melakukan sejuta hal-hal kecil dalam hidup saya. Dan persis, itulah mengapa beliau menjadi salah satu yang terbesar dan terpenting dalam hidup saya.
 
Kedua, perempuan yang pernah saya suka.

Mengapa dia penting dalam hidup saya? Sebab dialah yang membuat saya tumbuh dewasa soal cinta. Awalnya memang cinta monyet, katakanlah begitu. Saya suka dia karena dia cantik. Tetapi, semakin waktu saya semakin sadar, dia lebih daripada sekadar kecantikannya. Dia seperti jelmaan Dewi Amba dalam novel Antara Kabut dan Tanah Basah. Yang tak terengkuh justru membimbing Dewabrata untuk memahami cinta. Perempuan yang saya cinta ini tidak mencintai saya. Tetapi, dia tidak menolak atau membenci saya hanya karena saya mencintainya. Itu sangat saya syukuri dan hargai. Bukankah tak terhitung di dunia ini orang-orang yang terluka justru oleh orang yang ia cinta? 

Ia bahkan memperhatikan hidup saya. "Peristiwa surat" ketika saya menjalani tahun kedua di Seminari Mertoyudan misalnya. Sebelumnya saya sama sekali tidak pernah membayangkan ia, sebagai orang muslim, berani untuk mengirimkan surat pada saya yang calon imam di seminari. Tetapi ia melakukannya. Dan saya girang bukan kepalang. Malam itu juga saya baca suratnya di dalam kamar mandi. Jauh di dalam lubuk hati, saya terharu dan berterimakasih pada Tuhan. Saya benar-benar tidak mencintai orang yang salah.  

Saya bahagia ketika dia menikah pada tahun 2008, tahun ketika saya mulai menempuh studi di Yogyakarta. Saya bahagia ketika melihat hidupnya mapan dan berkecukupan. Saya bahagia melihatnya menempuh studi kebidanan dan kedokteran dan dapat lulus dengan baik. Juga, ini penting, saya bahagia melihat diri saya sendiri dalam beberapa tahun terakhir ini telah berhenti mencintainya. 

Saya telah mencintainya selama kurang lebih 10 tahun sejak pertama melihatnya pada bulan Agustus tahun 2001. Tiga tahun setelah ia menikah, saya bisa mengatakan saya sudah tidak mencintainya lagi, kendatipun saya masih memerhatikan hidupnya.

Itulah sebabnya ketika dia mengatakan perpisahan dengan suaminya di Instagram, saya yang benar-benar tidak tahu apa yang sebenarnya sedang terjadi, menjadi penasaran. Setahu saya, hubungannya dengan suami baik-baik saja, seperti tampak dalam foto ini.

Semoga mereka segera mendapatkan momongan.

Tetapi, foto yang terakhir diunggahnya lain dengan beberapa foto sebelumnya. Selain penasaran dengan maksud perpisahan yang ia maksud, saya juga penasaran dengan semua komentar yang masuk. Berikut foto dan komentarnya:



Ah, entahlah. Saya benar-benar buta akan akan kehidupan rumah tangganya. Meski demikian, saya berharap rumah tangganya baik-baik saja. Semoga Tuhan melindunginya.

18 April 2015

Pembantaian 1965-1966 di Indonesia

Disunting dari observasi atas pembantaian, dampak, dan implikasinya, oleh sejarawan John Roosa. Terima kasih disampaikan kepada John Roosa yang telah menyiapkan ringkasan ini. Catatan tambahan pada pembukaan dan penutupan ditulis oleh Joshua Oppenheimer.

Pada tahun 1965, pemerintah Indonesia digulingkan oleh tentara. Sukarno, presiden pertama Indonesia, pendiri gerakan non-blok, dan pemimpin revolusi nasional melawan penjajahan Belanda, disingkirkan dan digantikan oleh Jenderal Suharto yang berhaluan sayap kanan. Partai Komunis Indonesia (PKI), yang menjadi salah satu pendukung utama perjuangan melawan penjajahan Belanda, dan didukung penuh oleh Presiden Sukarno (yang bukanlah seorang komunis), segera dilarang.

Penggulingan Sukarno berawal dengan penculikan enam orang jenderal Angkatan Darat dalam sebuah operasi yang dinamai Gerakan 30 September (G30S). Pada saat terjadinya penculikan itu, PKI adalah partai komunis terbesar di dunia di luar negara-negara komunis. Partai tersebut secara resmi bertekad untuk meraih kekuasaan melalui pemilihan umum, dengan dukungan afiliasinya, termasuk serikat buruh di seluruh Indonesia dan serikat tani yang banyak beranggotakan petani tanpa tanah. Salah satu isu utama yang diangkat dalam kampanye PKI adalah reforma agraria (land reform), juga nasionalisasi perusahaan tambang, minyak, dan perkebunan milik asing. Dalam kampanye ini, PKI berusaha memobilisasi kekayaan sumber daya alam Indonesia untuk keuntungan rakyat Indonesia yang, setelah ratusan tahun dieksploitasi penjajahan, pada umumnya adalah rakyat sangat miskin. Pihak militer menuduh PKI, seluruh anggotanya dan anggota organisasi yang berafiliasi dengannya, sebagai otak dan penggerak G30S.

Setelah operasi militer di tahun 1965 itu, setiap orang yang menentang pemerintahan diktatorial militer Orde Baru dapat dituduh sebagai komunis, juga mereka yang menjadi anggota serikat buruh, para petani tanpa lahan, intelektual, dan orang Tionghoa, termasuk mereka yang memperjuangkan redistribusi penguasaan sumber-sumber daya ekonomi pada masa penjajahan.

Dalam waktu kurang dari satu tahun, dengan bantuan langsung dari pemerintah negara-negara barat, lebih dari satu juta orang yang dicap sebagai komunis dibunuh. Di Amerika Serikat, pembantaian ini dianggap sebagai "kemenangan besar atas komunisme", dan secara umum dirayakan sebagai berita baik. Majalah Time melaporkannya sebagai "berita terbaik dari Asia bagi negara Barat untuk beberapa tahun mendatang", sementara The New York Times menulis berita utama, "Secercah Cahaya di Asia", dan memuji pemerintah Amerika Serikat di Washington yang berhasil menyembunyikan peran mereka di dalam pembunuhan tersebut. 

(Pengkambinghitaman orang-orang Tionghoa, yang sudah datang ke Indonesia sejak abad ke-18 dan 19, dilakukan berkat hasutan dinas intelijen Amerika Serikat yang berupaya mengganjal hubungan rezim baru di Indonesia ini dengan pemerintah Republik Rakyat Tiongkok. Pembantaian anggota PKI serta serikat buruh dan tani yang berafiliasi dengan PKI sampai ke tingkat desa juga didorong oleh Amerika Serikat karena khawatir bahwa tanpa pemberantasan "sampai ke akar-akarnya", rezim baru di Indonesia suatu saat akan mengakomodasi basis komunis yang masih ada.)

Di banyak daerah di Indonesia, tentara merekrut orang-orang sipil untuk melakukan pembunuhan. Mereka diorganisasikan dalam kelompok paramiliter, diberi pelatihan dasar militer (dan dukungan militer yang memadai). Di provinsi Sumatera Utara dan di tempat-tempat lain, anggota paramiliter direkrut sebagian besar dari para preman. Semenjak saat pembantaian dilakukan, pemerintah Indonesia merayakan "penumpasan komunis" sebagai sebuah perjuangan patriotik dan menyanjung para anggota paramiliter dan preman sebagai pahlawan, memberi mereka keleluasaan dan kekuasaan. Orang-orang ini dan anak buahnya banyak menduduki jabatan penting -dan menindas lawan-lawannya -sejak saat itu. Dalih yang dipakai untuk melakukan genosida pada 1965-1966 adalah pembunuhan enam orang jenderal pada dini hari 1 Oktober 1965. [Joshua Oppenheimer]

1.10.1965: Beberapa perwira Angkatan Bersenjata Republik Indonesia yang tidak puas kepada atasannya melancarkan Gerakan 30 September (G30S), membunuh enam orang jenderal Angkatan Darat dalam sebuah kudeta gagal dan membuang jasad mereka ke dalam sebuah sumur di selatan Jakarta. Pada saat yang sama, pasukan G30S mengambil alih stasiun Radio Republik Indonesia dan mengumumkan bahwa mereka bertujuan melindungi Presiden Sukarno dari kelompok kecil jenderal-jenderal sayap kanan yang berencana merebut kekuasaan. Gerakan 30 September dapat dilumpuhkan sebelum sebagian besar rakyat Indonesia mengetahui keberadaannya. Panglima Angkatan Darat berkedudukan tinggi yang selamat dari gerakan, Mayor Jenderal Suharto, meluncurkan serangan balasan yang cepat dan mengusir pasukan G30S dari Jakarta dalam waktu satu hari.

Suharto menuduh Partai Komunis Indonesia (PKI) mendalangi G30S dan kemudian menyelenggarakan sebuah pembantaian terhadap orang-orang yang terkait dengan partai tersebut. Pasukan Suharto menangkapi lebih dari satu setengah juta orang dan menuduh semuanya terlibat dalam G30S. Dalam sebuah pertumpahan darah paling buruk di abad ke-20 ini, ratusan ribu orang dibunuh oleh tentara dan milisi pendukungnya, sebagian besar di Jawa Tengah, Jawa Timur, Bali, dan Sumatera Utara sejak akhir 1965 sampai pertengahan 1966. Dalam suasana darurat nasional, Suharto pelan-pelan merongrong kekuasaan Presiden Sukarno dan mengangkat dirinya sendiri sebagai presiden de-facto (dengan kewenangan memberhentikan dan mengangkat menteri) pada Maret 1966.

Pembantaian ini dilakukan dengan sangat berlebihan jika melihat alasan penyebabnya. Gerakan 30 September adalah persekongkolan berskala kecil yang dilaksanakan oleh segelintir orang. Korban keseluruhan adalah dua belas orang terbunuh. Suharto membesar-besarkannya sedemikian rupa sehingga peristiwa itu tampak seperti sebuah konspirasi nasional berkelanjutan dan akan melakukan pembunuhan massal. Berjuta-juta orang yang berhubungan dengan PKI, bahkan para petani buta huruf di dusun-dusun terpencil, ditampilkan sebagai gerombolan pembunuh yang secara kolektif bertanggungjawab atas Gerakan 30 September.

Sampai penghujung masa kekuasaan rezim Suharto pada 1998, pejabat pemerintah dan perwira militer Indonesia menggunakan hantu PKI sebagai tanggapan atas setiap masalah kerusuhan atau gejala pembangkangan. Kata kunci dalam wacana rezim ini adalah "bahaya laten komunisme". Pemberantasan PKI yang tak kunjung usai, sungguh-sungguh merupakan alasan keberadaan (raison d'etre) bagi rezim Suharto. Landasan hukum yang dijadikan permulaan dan dipakai rezim Suharto untuk menguasai Indonesia selama lebih dari 30 tahun adalah perintah dari Presiden Sukarno pada 3 Oktober 1965 yang memberi wewenang kepada Suharto untuk "memulihkan ketertiban". Perintah itu dikeluarkan dalam keadaan darurat. Tapi bagi Suharto, keadaan darurat itu tidak pernah berakhir.

Dalam membangun ideologi yang membenarkan kediktatorannya, Suharto menampilkan dirinya sebagai juruselamat bangsa yang telah menumpas Gerakan 30 September. Rezim yang dibangunnya terus menerus menanamkan peristiwa tersebut ke dalam benak masyarakat luas melalui semua metode propaganda negara: buku teks, monumen, nama-nama jalan, film, museum, upacara peringatan, dan hari besar nasional. Rezim Suharto memberi dasar pembenaran keberadaannya dengan menempatkan G30S tepat pada jantung narasi historisnya menggambarkan PKI sebagai kekuatan jahat tak terperikan. Di bawah Suharto, anti-komunisme menjadi agama negara, lengkap dengan segala tanggal, ritual, dan situs sakralnya.

Sungguh mencengangkan bahwa kekerasan anti-PKI, suatu kejadian dengan skala demikian luas, ternyata salah dimengerti sedemikian parah. Tentu saja keterlibatan baik personil militer maupun penduduk sipil dalam pembantaian itu telah mengaburkan persoalan tanggung jawab. Bagaimanapun, dari sedikit yang sudah diketahui, jelaslah bahwa militer yang memikul bagian tanggung jawab terbesar, dan bahwa pembunuhan itu lebih merupakan kekerasan yang terencana dan birokratik daripada kekerasan massa yang spontan. Dengan mengarang cerita-cerita bohong mengenai G30S dan mengendalikan media massa sedemikian ketat, kelompok kecil perwira di sekitar Suharto menciptakan suasana di kalangan masyarakat luas bahwa PKI sedang bersiap-siap untuk perang. Tanpa militer, masyarakat tidak akan percaya bahwa PKI merupakan ancaman yang mematikan karena partai ini bersikap pasif setelah G30S ditaklukkan. (Pihak militer bekerja keras menyulut kemarahan rakyat melawan PKI sejak Oktober 1965 dan bulan-bulan selanjutnya; pemerintah Amerika Serikat secara aktif mendorong tentara Indonesia untuk mengejar seluruh anggota PKI sampai di tingkat yang paling rendah). Tentara mendorong milisi sipil untuk bertindak, memberi mereka jaminan impunitas, dan mengatur dukungan logistik.

Berlawanan dengan keyakinan umum, kekerasaan gila-gilaan oleh penduduk desa bukanlah merupakan hal yang lazim terjadi. Tentara di bawah komando Suharto biasanya memilih penghilangan paksa secara diam-diam daripada melakukan eksekusi di depan umum sebagai peringatan kepada masyarakat luas. Tentara dan milisi pendukungnya cenderung untuk melaksanakan pembunuhan berskala besar secara rahasia: mereka menjemput tahanan dari penjara pada malam hari, membawa mereka dengan truk ke sebuah tempat terpencil, mengeksekusi mereka, dan lalu mengubur jasad mereka di kuburan massal tanpa tanda atau melemparkannya ke sungai.

Tragedi sejarah modern Indonesia tidak hanya terletak pada pembunuhan massal 1965-1966 yang diorganisasi Angkatan Darat saja, tapi juga pada bertahtanya para pembunuh, yang memandang pembunuhan massal dan operasi-operasi perang urat syaraf sebagai cara-cara sah dan wajar dalam mengelola tata pemerintahan. Sebuah rezim yang mengabsahkan dirinya dengan mengacu kepada sebuah kuburan massal di Lubang Buaya dan bersumpah bahwa "peristiwa semacam ini tidak terulang lagi" mewariskan kuburan massal tak terbilang dari satu ujung tanah air ke ujung lainnya, dari Aceh di ujung barat sampai Papua di ujung timur. Pendudukan Timor Leste dari 1975 sampai 1999 telah meninggalkan puluhan ribu, jika bukan ratusan ribu, korban mati, kebanyakan terkubur tanpa nama. Setiap kuburan massal di Nusantara menandai pelaksanaan kekuasaan negara yang sewenang-wenang, tertutup, dan rahasia.

Dikeramatkannya peristiwa yang relatif kecil (G30S) dan penghapusan peristiwa bersejarah tingkat dunia (pembunuhan massal 1965-1966) telah menghalangi empati terhadap korban, seperti keluarga para perempuan dan laki-laki yang hilang. Sementara berdiri sebuah monumen di dekat sumur, tempat pasukan G30S membuang jasad tujuh perwira Angkatan Darat pada 1 Oktober 1965, tidak ada satu monumen pun menandai kuburan-kuburan massal yang menyimpan ratusan ribu orang yang telah dibunuh atas nama penumpasan G30S. [John Roosa]

Menitikberatkan pertanyaan pada siapa membunuh jenderal Angkatan Darat pada 30 September 1965 telah berfungsi menjadi semacam fetish (pengalih perhatian), menggeser semua perhatian dari pembunuhan terhadap lebih dari satu juga orang yang dituduh komunis pada bulan-bulan selanjutnya. Rezim Suharto memproduksi propaganda tanpa henti mengenai "kekejaman komunis" ini, sebagian besar pembahasan mengenai genosida telah tergusur oleh tema ini. Dan hal ini juga terjadi pada kebanyakan bahan bacaan berbahasa Inggris. Bagi saya, berpartisipasi dalam perdebatan mengenai "siapa membunuh para jenderal" terasa janggal, dan itu sebabnya mengapa saya tidak menampilkannya dalam "Jagal".

Genosida di Rwanda dipicu peristiwa tewasnya Presiden Rwanda Juvenal Habyarimana (dari etnis Hutu) setelah pesawatnya ditembak jatuh ketika sedang menuju Kigali. Memusatkan perhatian kepada siapa yang menembak jatuh pesawat itu (apakah ekstremis Tutsi? apakah ekstremis Hutu yang bertindak sebagai provokator?) alih-alih melihat pembunuhan 800.000 orang Tutsi dan Hutu moderat dalam 100 hari sungguh tidak bisa diterima. Demikian pula dengan pertanyaan siapa yang menyulut kebakaran Reichstag tidak relevan dengan pemahaman mengenai Holocaust. Pertanyaan "apakah betul bahwa beberapa perwira tentara yang berada di balik pembunuhan enam jenderal itu didukung oleh pimpinan PKI" bukan hanya tidak penting, tetapi lebih dari itu, sebagaimana ditunjukkan oleh John Rossa di atas, pertanyaan tersebut memainkan peran jahat dalam rangka memalingkan perhatian dari pembunuhan massal yang penting dalam sejarah dunia. Bayangkan jika, di Rwanda, pertanyaan fundamental mengenai apa yang terjadi pada tahun 1994 adalah "siapa yang menembak jatuh pesawat presiden?" Hal ini hanya masuk akal jika para pembunuh massal itu masih duduk di tampuk kekuasaannya. [Joshua Oppenheimer]


Disalin dari booklet film Senyap (The Look of Silence).



09 March 2015

Dongeng tentang Cinta

Maria Emilia Voss, seorang peziarah ke Santiago, menceritakan kisah berikut ini.

     Pada zaman Cina kuno, sekitar tahun 250 SM, seorang pangeran dari wilayah Thing-Zda akan dinobatkan sebagai Kaisar; akan tetapi, sesuai hukum yang berlaku, dia harus menikah terlebih dahulu.
     Ini berarti sang pangeran mesti memilih calon ratu, dan dia harus menemukan gadis yang dapat dipercaya sepenuhnya. Atas nasihat seorang bijak, sang pangeran memutuskan untuk memanggil semua perempuan muda di wilayah itu, dan mencari calon yang paling pantas di antara mereka.
     Berita tentang persiapan-persiapan untuk acara tersebut sampai di telinga seorang perempuan tua yang sudah bertahun-tahun mengabdi di istana; perempuan ini menjadi sangat sedih, sebab anak perempuannya diam-diam menaruh hati kepada sang pangeran.
     Sesampainya di rumah, si perempuan tua memberitahukan hal ini kepada anak perempuannya, dan betapa kagetnya dia ketika gadis itu mengatakan akan berangkat ke istana.
     Perempuan tua itu sangat cemas.
    "Tetapi, anakku, apa yang akan kaulakukan di sana? Semua gadis yang paling kaya dan paling cantik akan hadir. Niatmu sungguh berlebihan! Aku tahu kau tentu sangat menderita, tetapi janganlah penderitaan ini membuatmu kehilangan akal sehat."
     Dan anak perempuannya menjawab:
    "Ibuku tercinta, aku tidak menderita dan aku juga tidak kehilangan akal sehatku. Aku tahu aku tidak akan terpilih, tetapi ini satu-satunya kesempatanku untuk, setidaknya, berada di dekat sang pangeran, walau hanya beberapa saat saja, dan ini sudah cukup untuk membuatku bahagia, meskipun aku tahu nasibku tidak akan seberuntung itu."
     Malam itu, si gadis pun sampai di istana. Semua gadis yang paling cantik juga sudah hadir, dengan mengenakan pakaian dan perhiasan yang indah-indah; semuanya siap melakukan apapun, asalkan bisa meraih kesempatan yang ditawarkan. Dengan didampingi para anggota istana, sang pangeran mengumumkan sebuah tantangan.
    "Aku akan memberikan sebutir benih kepada kalian masing-masing. Dalam waktu enam bulan, gadis yang membawakan bunga yang paling indah, akan menjadi calon ratu Cina."
    Gadis itu membawa pulang benih yang diberikan kepadanya dan menanamnya di sebuah pot. Berhubung dia tidak terlalu mahir berkebun, dia pun menyiapkan tanahnya dengan penuh kesabaran dan kelembutan, sebab dia percaya kalau bunga-bunganya tumbuh sebesar cintanya, maka dia tak perlu khawatir tentang hasilnya.
     Tiga bulan berlalu dan tidak ada satu tunas pun yang muncul. Gadis itu mencoba berbagai cara; dia bertanya kepada para petani dan tukang kebun, dan mereka menunjukkan berbagai metode pembudidayaan kepadanya, tetapi semua itu tak ada hasilnya. Makin hari dia merasa impiannya makin jauh dari jangkauan, walaupun cintanya masih tetap berkobar seperti sebelumnya.
     Akhirnya, masa enam bulan pun berakhir, dan tetap saja benih yang ditanamnya tidak menumbuhkan apa pun. Meski tidak bisa menunjukkan hasil apa-apa, dia tahu bahwa dia telah berusaha keras dengan sepenuh hati selama masa-masa tersebut; maka dikatakannya kepada ibunya bahwa dia akan kembali ke istana pada tanggal dan jam yang telah ditentukan. Dan di dalam istana, dia tahu bahwa perjumpaan dengan sang pangeran akan menjadi perjumpaan terakhir dengan cinta sejatinya, dan biar bagaimanapun dia tidak mau kehilangan kesempatan ini.
     Tibalah hari yang telah ditentukan itu. Si gadis datang dengan membawa pot-nya yang tidak berisi tanaman; dia melihat calon-calon lainnya telah datang dengan membawa hasil yang luar biasa; semua gadis seolah berlomba-lomba membawa bunga yang paling indah, dalam berbagai rupa dan warna.
    Akhirnya tibalah saat yang ditunggu-tunggu. Sang pangeran memasuki ruangan dan mengamati setiap calon dengan seksama dan penuh perhatian. Setelah mengamati mereka semua, dia mengumumkan hasilnya dan memilih anak perempuan si pelayan sebagai istri barunya.
     Gadis-gadis lain yang hadir di sana mulai memprotes, sebab sang pangeran memilih satu-satunya gadis yang tidak membawa hasil apa-apa.
    Dengan tenang sang pangeran menjelaskan rahasia di balik tantangan yang diumumkannya.
      "Gadis ini adalah satu-satunya yang menanam bunga yang membuat dia layak menjadi seorang ratu, yakni bunga kejujuran. Semua benih yang kubagikan itu steril dan tidak mungkin bisa menumbuhkan apa pun."
(Paulo Coelho, Seperti Sungai yang Mengalir, 181-184)

Untuk Rani yang akan menikah:
"Selamat mengarungi hidup baru. Semoga seperti kisah anak perempuan pelayan di atas, perjalanan rumah tanggamu senantiasa dibangun oleh kejujuran, detik demi detik, seumur hidup."

18 February 2015

Antara Paus Fransiskus dan Mantan-mantannya

Sebenarnya saya bisa menulis mengenai hari Rabu Abu yang dirayakan hari ini. Akan tetapi, renungan mengenai Rabu Abu sudah sering dibuat. Paling tidak, tadi pagi saya sudah membuat dan memberikannya bagi beberapa narapidana yang beragama kristiani di Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) Purwokerto. Di tempat itu, saya memberikan renungan mengenai pertobatan, sekaligus mengoleskan abu di dahi mereka, baik yang beragama Katolik maupun Kristen Protestan. Jadi, rasanya yang berkaitan dengan Rabu Abu sudah cukuplah. Saya akan menulis sesuatu yang lain.

Tulisan saya berikut bukan tulisan yang saya buat sendiri. Tulisan berikut adalah terjemahan saya atas artikel menarik yang saya baca ketika mempersiapkan renungan untuk para narapidana. Artikel ini berasal dari situs http://www.thedailybeast.com/. Entahlah, situs berita macam apa itu. Tetapi, artikel yang membicarakan masa lalu seseorang ini menarik sebab membicarakan masa lalu Paus Fransiskus, yang pada tahun 2013 dinobatkan oleh majalah terkemuka TIME sebagai Person of the Year.

The Pope's Days as a Mardi Gras Bouncer

Mardis Gras, Fat Tuesday, Martedi Grasso, apapun sebutannya, merupakan pesta terakhir sebelum berlangsung masa doa dan puasa dalam tradisi Prapaskah Katolik. Pada kesempatan pesta itu, Paus Fransiskus menghabiskan harinya justru untuk mempersiapkan diri demi pelayanannya dalam hari Rabu Abu. Namun, (ini penting) hal tersebut ternyata bukanlah jalan yang sejak semula dihayati oleh paus modern ini.

Banyak orang terkenal memiliki pekerjaan-pekerjaan yang tidak terduga sebelum mereka mencapai ketenarannya. Whoopi Goldberg tadinya adalah perias mayat; Kanye West sebelumnya adalah seorang pelayan toko; dan John Hamm tadinya adalah seorang desainer dalam industri film porno. Itulah mengapa kita tidak perlu heran bahwa Paus Fransiskus sebelumnya tidak selalu berada dalam lingkungan yang suci. Ketika masih dikenal sebagai Jose Maria Bergoglio, beliau bekerja sebagai tukang pukul dalam kelab malam di Flores, Argentina. Semuanya ia jalani untuk memperoleh uang demi mendukung biaya pendidikannya.

"Saya adalah tukang pukul paling parah sedunia," Paus Fransiskus berkata pada kongregasi San Cirillo Alessandrino di pinggiran kota Roma tidak lama setelah terpilih menjadi Paus pada tahun 2013. Dia sama sekali tidak menampakkan diri sebagai sosok yang penuh intimidasi. Beberapa biografi menuliskannya. Biografi mengenai Paus Fransiskus yang paling dalam, Francesco: Life and Revolution, ditulis oleh jurnalis Argentina Elisabetta Pique, yang telah mengenal Bergoglio sejak beliau terpilih menjadi Kardinal tahun 2001, dan yang dipanggil secara personal oleh Paus sesaat setelah pemilihan. Pique menggambarkan Bergoglio, laki-laki yang kemudian menjadi Paus ini sebagai "el Flaco" atau si kurus dan juga "Carucha" atau "baby face", sebagaimana teman-teman Bergoglio memanggilnya.

Paus Fransiskus juga memiliki kekasih sebelum dia menjadi imam -perempuan ini kabarnya adalah seorang penari Tango dan Milonga yang hebat. Paus Fransiskus memang kemudian meninggalkannya ketika beliau menyadari panggilannya, tetapi menurut Pique, lain waktu beliau sempat goncang di seminari ketika tidak sengaja dalam suatu acara, yakni pernikahan pamannya, beliau bertemu dengan seorang perempuan yang menarik hatinya. Pique mengutipnya dengan menulis, "Aku terpesona pada perempuan yang kulihat dalam pernikahan pamanku, kecantikannya, cahaya intelektualitasnya, semuanya mengejutkanku. Untuk beberapa saat, aku merasa bingung, perempuan itu selalu datang dalam pikiranku. Ketika aku kembali ke seminari setelah pesta pernikahan itu usai, seminggu penuh aku tidak bisa berdoa, sebab ketika aku mau berdoa, perempuan itu muncul di kepalaku."

Dan yang lebih terkenal lagi adalah kisah cinta Bergoglio yang waktu itu berumur 12 tahun pada seorang gadis bernama Amalia. Bergoglio berkata kepadanya, "Kalau kamu tidak mau menikah denganku, aku akan menjadi imam."

Menurut Pique, laki-laki yang akhirnya menjadi Paus tersebut bahkan sempat mengirim surat berisi gambar rumah beratap merah yang diberi catatan, "Rumah ini adalah rumah yang akan kubeli ketika kita menikah." Ketika orangtua Amalia menemukan surat tersebut, mereka menyobeknya dan melarang anaknya untuk bertemu "laki-laki itu" lagi sebab dia adalah benar-benar "masalah".

"Each has his past shut in him like the leaves of a book known to him by his heart; and his friends can only read the title."
Virginia Woolf

Masa lalu Paus Fransiskus yang memiliki banyak mantan ini menarik bukan?

Orangtua Amalia mungkin tidak akan pernah menyangka bahwa laki-laki yang mencintai anaknya -yang tidak hanya sekadar "bermasalah", tetapi bahkan menjadi "masalah" itu sendiri, sekarang menjadi Paus, pemimpin tertinggi Gereja Katolik sedunia. Paling sekarang Amalia versi tuek-nya bisa dengan congkak mengatakan, "Dulu Paus jatuh cinta sama saya lho."

Setiap orang memiliki masa lalu. Setiap orang juga mempunyai kelemahan, kesalahan, dan dosa. Berbahagialah kita yang mampu berdamai dengannya, lalu mengubah hidup kita menjadi lebih baik. 

Nb: Yang tidak puas dengan terjemahan saya, bisa langsung membacanya di sini.


Selamat memasuki masa Prapaskah 2015.


08 February 2015

Adultery [Indonesian Version: Selingkuh] Quotes

Adultery, diterjemahkan dalam bahasa dengan judul Selingkuh, adalah novel terbaru Paulo Coelho. Novel tersebut mengisahkan pergulatan hidup seorang perempuan bernama Linda. Di satu sisi, Linda pantas dikagumi dan dicemburui oleh semua perempuan di dunia. Ia sukses dalam segala hal, baik dalam karir maupun dalam hidup rumah tangga. Namun, di sisi lain Linda juga mengalami gelisah yang tak berkesudahan, yang senantiasa menghantui malam-malamnya. Ia nyaris depresi, sampai kemudian petualangan-petualangan yang ia tempuh mengantarkannya pada akhir yang penuh makna.


Berikut saya tuliskan beberapa kutipan dalam novel tersebut yang berhasil menarik perhatian saya.

“Seperti yang tanpa ragu kausadari, aku bertanya apakah kau bahagia karena aku mengenali diriku dalam dirimu. Kemiripan saling menarik satu sama lain.”

“Dan semua ini membuat kita merasa tua, membuat kita merasa bahwa kita menjalani kehidupan yang membosankan dan tanpa petualangan sementara kulit kita semakin kendur, dan berat badan kita terus bertambah. Dan sekalipun demikian kita merasa harus menekan emosi dan gairah kita karena tidak sesuai dengan apa yang kita sebut ‘kedewasaan’.”

“Aku kembali dapat merasa, dan aku dapat mencintai sesuatu yang tidak dapat kumiliki.”

“Aku tidak bisa menghabiskan hidupku mencoba menyenangkan hati orang lain.”

“Aneh rasanya setiap kali bertemu teman-teman sekolah yang lama, kita selalu berpikir mereka tidak berubah sama sekali, bahkan meskipun yang paling lemah telah tumbuh kuat, yang paling cantik akhirnya menikah dengan monster, dan orang-orang yang sepertinya dulu sangat akrab telah renggang dan tidak saling bertemu bertahun-tahun lamanya.”

“Ini bukan cinta (ataukah cinta?), tetapi itu tidak penting. Cintaku adalah milikku dan aku bebas menawarkannya pada siapa pun yang kupilih, bahkan kalaupun itu bertepuk sebelah tangan.”

“Aku senang dengan pikiran terakhir itu: aku bebas untuk mencintai siapa pun di dunia ini. Aku dapat memutuskan siapa orangnya tanpa perlu meminta izin siapa pun.”

“Sekarang, jangan bilang kau tidak tahu jalan ke hatiku, karena kau sudah masuk ke sana beberapa kali sebelumnya, baik di masa lalu maupun masa kini.”

“Untuk menemukan damai di surga, kita harus menemukan kasih di bumi. Tanpa kasih, kita tidak berharga.”

“Tidak ada yang sebuta orang yang tidak ingin melihat.”

“Setiap orang memiliki sisi gelap.”

“Kita binatang yang tidak mungkin dapat dimengerti.”

“Kita selalu mempraktikkan kendali diri, mencoba menghalangi si monster keluar dari tempatnya bersembunyi.”

“Kita bukan orang yang semula kita inginkan. Kita adalah yang dituntut masyarakat. Kita adalah apa yang dipilih orangtua kita. Kita tidak ingin mengecewakan siapa pun; kita memiliki kebutuhan yang besar untuk dicintai.”

“Ketika kita melepaskan sisi gelap kita, sisi itu akan menutupi sepenuhnya sisi terbaik di dalam diri kita.”

“Begitulah cara para diktator lahir. Mula-mula secara umum mereka memiliki niat baik, tetapi sedikit demi sedikit, demi melakukan apa yang mereka anggap adalah demi ‘kebaikan’ rakyat, mereka menggunakan hal terburuk dalam sifat manusia: teror.”

Post Tenebras Lux. Setelah gelap, terang.”

“Dan sekarang anak-anakku mempelajari Calvin di sekolah seolah-olah dia seorang tokoh pencerahan, laki-laki dengan gagasan-gagasan baru yang membebaskan kita dari kuk aliran Katolik. Seorang revolusioner yang layak dihormati oleh generasi-generasi masa depan.”

“Saat sejarah ditulis oleh para penakluk, tak seorang pun sekarang mengingat kekejaman Calvin. Sekarang dia dipandang sebagai tabib bagi jiwa-jiwa, tokoh reformasi besar, orang yang menyelamatkan kita dari bidah Katolik, dengan para malaikat, santa, perawan, emas, perak, pengampunan dosa, dan korupsinya.”

“Malam, dengan segenap pesonanya, adalah juga jalan menuju pencerahan. Seperti halnya sumur yang gelap memiliki air yang memuaskan dahaga di bagian dasarnya, malam, yang misterinya membawa kita lebih dekat kepada misteri Tuhan, memiliki api yang dapat mengobarkan jiwa kita yang tersembunyi di balik bayang-bayangnya.”

“Akan tiba waktunya ketika kekalahan tak terelakkan, tetapi setidaknya kita bertarung sampai akhir.”

“Aku membuka tirai-tirai di kantorku dan melihat orang-orang di luar sana, ada yang berjalan dan bergandengan tangan tanpa harus mencemaskan tentang konsekuensi. Tapi aku tidak dapat menunjukkan cintaku.”

“Dan sering kali ada senyum di wajah kita dan sepatah kata penyemangat, karena tak seorang pun dapat menjelaskan rasa kesepiannya kepada orang lain, terlebih jika mereka tidak pernah sendirian.”

“Tetapi mereka bersikeras ini hanyalah masa-masa pelik atau depresi karena mereka takut menggunakan kata yang tepat dan mengerikan: rasa kesepian.”

“Mimpi selalu riskan, karena ada harga yang harus dibayar.”

“Tapi ini bukan tentang meminta izin. Kau menoleh ke belakang dan melihat kau juga dulu berpikir seperti orang-orang yang mendakwamu. Dulu kau juga mengutuk orang-orang yang kauketahui berselingkuh dan membayangkan jika kau tinggal di tempat lain, hukumannya bisa saja hukum rajam. Sampai ketika kau mengalaminya sendiri. Barulah kau menciptakan ribuan alasan untuk perilakumu dan berkata kau berhak untuk bahagia, bahkan kalaupun hanya sebentar, karena kesatria-kesatria pembunuh naga hanya ada dalam kisah-kisah dongeng.”

“Laki-laki berselingkuh karena hal itu ada dalam kode genetik mereka. Seorang wanita melakukannya karena dia tidak memiliki cukup martabat; ditambah jika dia menyerahkan tubuhnya, dia pada akhirnya selalu memberi sekerat hatinya. Kejahatan sejati. Sebuah pencurian. Ini lebih buruk daripada merampok bank, karena jika suatu hari nanti wanita itu ketahuan (dan dia selalu ketahuan), dia akan menciptakan kerusakan telak pada keluarganya.”

“Bagi kaum laki-laki ini hanyalah ‘kesalahan tolol’. Bagi kaum wanita, rasanya seperti kejahatan spiritual terhadap semua orang yang mengelilinginya dengan kasih sayang dan mendukungnya sebagai seorang ibu dan istri.”

“Kalau berhubungan dengan perselingkuhan, mediasi hanya membantu sedikit atau tidak sama sekali. Dalam kasus ini, orang tersebut gembira dengan apa yang sedang berlangsung. Mereka menjaga keamanan hubungan mereka dan pada saat yang sama juga mengalami petualangan. Ini situasi yang ideal.”

“Apa yang mendorong orang-orang melakukan perselingkuhan?”

“Jika orang yang menikah, demi entah alasan apa pun, memutuskan untuk mencari pasangan yang lain, ini tidak selalu berarti hubungan pasangan itu tidak berjalan dengan baik. Saya juga tidak percaya seks adalah motif utama. Ini lebih karena perasaan bosan, karena lenyapnya gairah hidup, karena ketiadaan tantangan. Ini campuran berbagai faktor.”

“Apakah Anda memperhatikan bahwa manusia lebih takut pada laba-laba dan ular daripada kendaraan, terlepas dari fakta bahwa kematian karena kecelakaan lalu lintas lebih sering terjadi? Ini karena pikiran kita masih hidup di zaman-zaman manusia gua, ketika ular dan laba-laba adalah sesuatu yang mematikan. Hal yang sama berlaku pada kebutuhan seorang laki-laki untuk memiliki beberapa wanita. Pada zaman itu laki-laki pergi berburu, dan alam mengajarinya bahwa melestarikan jenisnya adalah prioritas; kau harus menghamili sebanyak mungkin wanita.”

“Siapa pun yang mengatakan ‘cinta cukup’ itu berbohong. Cinta tidak cukup dan tidak pernah cukup.”

“Setelah menikah tiga tahun, seseorang sudah tahu dengan persis apa yang pasangannya inginkan dan pikirkan. Pada jamuan-jamuan makan malam kita harus mendengarkan kisah-kisah yang sama yang telah kita dengar berulang kali, selalu berpura-pura terkejut dan, sesekali, harus mengkonfirmasi mereka. Seks berubah dari gairah menjadi kewajiban, dan itulah sebabnya jadi semakin jarang dilakukan.”

“Cinta saja tidak cukup. Aku harus jatuh cinta pada suamiku.”

“Cinta bukan hanya perasaan; cinta adalah seni. Dan layaknya seni apa pun, cinta tidak hanya membutuhkan inspirasi, melainkan juga banyak kerja keras.”

“Aku memaku tatapanku pada suamiku; semua orang yang berbicara di depan publik harus memilih seseorang sebagai pendukung.”

“Dapatkah kau melatih dirimu untuk mencintai laki-laki yang tepat? Tentu saja bisa. Masalahnya adalah melupakan tentang laki-laki yang salah, laki-laki yang melintas lewat dan masuk tanpa izin ke dalam pintu yang dibiarkan terbuka.”

“Kurasa, sebenarnya, aku yakin semua orang yang menikah selalu memiliki seseorang yang diam-diam ditaksirnya. Itu terlarang, dan bermain-main dengan yang terlarang itulah yang membuat hidup menarik.”

“Tak ada sesuatu pun yang terjadi tanpa usaha. Kau harus memiliki iman. Dan untuk itu, kau harus menghancurkan tembok-tembok prasangka, dan itu membutuhkan keberanian. Untuk memiliki keberanian, kau harus mengalahkan ketakutanmu. Dan begitulah seterusnya dan selanjutnya. Marilah kita berdamai dengan hari-hari kita.”

“Mengejar impian-impian ada harganya. Itu mungkin berarti meninggalkan kebiasaan-kebiasaan kita, mungkin mengharuskan kita mengalami kesengsaraan, atau mungkin mengantar kita pada kekecewaan, dan sebagainya. Tetapi sebesar apa pun bayarannya, itu tak pernah semahal harga yang harus dibayar orang-orang yang berhenti hidup. Karena pada suatu hari mereka akan menoleh ke belakang dan mendengar hati mereka sendiri berkata: ‘Aku sudah menyia-nyiakan hidupku’.”

“Aku takut memperdaya diriku sendiri, bahwa aku memandang kenyataan seperti yang kuinginkan terjadi dan bukan seperti yang sesungguhnya terjadi.”

“Cinta selalu berubah. Menurutku Jet d’Eau adalah monumen paling indah untuk dicintai yang diciptakan kesenian manusia, karena monumen ini juga tak pernah sama, selalu berubah.”

“Mengapa kita ingin hidup selamanya? Karena kita ingin hidup satu hari lagi bersama orang di sisi kita.”

“Hidup bukanlah liburan panjang, melainkan proses pembelajaran yang terus-menerus.”

Fine


03 February 2015

Ulat

Ulat ini untukmu
Hadiah dariku di hari ulang tahunmu

Aku telah berburu di hutan sepanjang malam
Menyibak semak duri dan belukar
Mengintai dan menyelinap di antara pohon-pohon dan daunan
hitam
Hanya untuk menangkap seekor ulat yang matanya berbinar
seperti bintang

Rawatlah ia
Sebab sebentar lagi ia kepompong dan akan menjelma kupu-kupu
Seperti juga dirimu
Akan tertidur dan bangun dengan sepasang sayap di pundakmu
Lalu kau akan terbang menjemput bintang

Sementara aku terus meranggas
Sampai musim reda dan tubuhku kembali menjadi tunas

Catur Wibawa, Sayang Kau Tak Suka Kupu-kupu, 2008