31 December 2012

2012

Tahun ini, aku sempat “jatuh cinta kecil”.

Kusebut kecil karena kali ini, aku sudah berdiri kembali. Sedikit berbeda dengan jatuh cinta pertamaku dahulu, yang meminta waktu sepuluh tahun untukku bangkit dan berjalan lagi.

Akan tetapi, ada yang sama dari “jatuh cinta kecil” ini dengan “jatuh cinta-jatuh cinta”-ku sebelumnya. Aku jatuh cinta pada perempuan yang tidak setiap hari aku melihatnya. Dan itu menyiksa betul. Rindu tidak pernah toleran. Ia berpendar seperti darah di dalam tubuh, berputar-putar, lalu memberi efek lemas setiap kali ia berkumpul di kepalaku.

Aku menyebut perempuan itu bintang. Sebab, aku harus bersahabat dengan malam, yaitu kegelapan, situasi yang mencerminkan bahwa apa yang aku rasakan adalah rahasia. Bolehlah kau samakan dengan hari kiamat, yang tak seorang pun tahu. “Jatuh cinta kecil” itu hanya sepengetahuanku.

Dia kusebut bintang juga karena aku hanya melihat dari kejauhan kerlip indahnya. Perlu “teleskop” untuk melihatnya lebih jelas. Dan Tuhan tidak tinggal diam. Diberikan-Nya “teleskop” itu kepadaku. Ada dua “teleskop” yang paling baik. Pertama, “teleskop” kepadaku di akhir tahun 2011. Kedua, “teleskop” yang diberikan kepadaku di awal tahun 2012.

Sudahlah, tempo hari Arswendo Atmowiloto memang pernah memuji bahwa aku mempunyai kemampuan untuk menyusun kata-kata yang romantis untuk perempuan. Tetapi, tidak. Berhadapan dengan kenyataan “jatuh cinta” seperti ini, kadangkala luapan-luapan rasa sungguh-sungguh membekukan pikiran. Aku pun sadar diri aku tidak pernah menuliskan pengalaman ini dengan baik. Jadi, ya sudahlah. Seperti ini saja.

Tahun ini, aku juga disedot oleh pengalaman menyusun skripsi.

Menyusun skripsi di Fakultas Teologi Wedabhakti tidak main-main. Buang jauh-jauh pikiran nakal untuk asal copas, atau bahkan membeli skripsi. Tuntutannya tinggi, dengan standar diksi para doktor, dengan waktu penyusunannya yang terbatas, dan segala hal lain yang menjadi rules of the game-nya.

Sudah tahu begitu, angkatanku lumayan ngawur dalam menyusunnya. Ngawur dalam arti baru pada akhir semester pertama, semua baru mulai sibuk memfokuskan diri pada tugas pokok tersebut. Dan di antara mereka, aku adalah yang paling ngawur. Aku mengerjakannya di awal semester dua!

Selebihnya, tidak usah dideskripsikan lagi. Aku benar-benar keponthal-ponthal. Pelajaran moralnya, kawan, jangan pernah sekalipun dengan bangga ingin menyaingi Bandung Bandowoso yang membangun seribu candi dalam semalam. Dia berhasil karena dibantu oleh roh-roh halus. Sementara, skripsi? Kita harus mengerjakannya sendiri. Roh-roh halus tidak bisa menulis di komputer untuk membantu kita.

Tanggal 16 April 2012, yang menjadi deadline penyerahan skripsi untuk diujikan, menjadi tanggal yang tidak dapat kulupakan. Skripsi yang sudah selesai kubuat belum dapat disetujui oleh dosen pembimbing untuk diujikan. Menurutnya, masih ada beberapa bagian yang harus dipermak supaya memenuhi standar yang ia tetapkan untuk diujikan. Aku tidak bisa berbuat apa-apa. Aku hanya mampu menjelaskan apa yang aku alami pada Rm. Indra Sanjaya sebagai perfek studi. Sisanya adalah adegan aku mengunci kamar dan menyembunyikan tangis di balik bantal. Penolakan seperti ini amat pahit kurasakan.

Di balik kepahitan itu, aku merasa Tuhan benar-benar mencintaiku. Tidak ada satupun sahabat atau staf yang menyalahkan dan mencibirku. Ungkapan “Edan” Rama J. Kristanto ketika dalam wawancara rektor aku mensharingkan proses aku menyusun skripsiku lebih kutafsirkan sebagai keterkejutan daripada penghakiman.

Selain melalui orang-orang di sekitarku di seminari, Tuhan juga membesarkan hatiku melalui orang-orang di luar seminari. Keluarga tidak pernah tahu persis bagaimana aku mengerjakan skripsiku. Tetapi, aku sangat mengenang suatu sore ketika aku berada di teras rumah bersama bapak. Aku bercerita padanya bahwa aku sedang sekuat tenaga menyempurnakan skripsiku agar dapat diujikan. Sambil bercerita, sebenarnya aku berharap bapak memberi kata-kata yang menghibur atau memotivasi. Akan tetapi, tidak disangka tanggapan bapak yang kudengar adalah, “Kuwi kan tugasmu, yo rampungno dhewe.” Dalam hati, aku kecewa. “Owalah, pak, pak. Tanggapane mung kaya ngono jan.” Tetapi, entah kenapa, kata-kata itu memang memacuku untuk mengalahkan kata-kata bapak. Sore itu masih aku kenang.

Yang memberiku penghiburan hati dalam arti yang sebenarnya justru Bapa Uskup. Setelah sebelumnya aku menjelaskan apa yang aku alami, beliau menuliskan demikian melalui email:

Ytk. Fraer Igo. Berkah Dalem
Teruskan menuntaskan skripsi samapai disetujui oleh dosen pembimbing untuk bisa diujikan.. Keputusan dari dosen pembimbing bahwa ujian skripsi Fr. Igo di bulan September saja, kita mengikuti beliau. Saya doakan. jsunarkasj    

Akan tetapi, rahmat kasih Tuhan yang paling aku rasakan adalah bahwa aku diberi kesempatan untuk dilantik menjadi Lektor dan Akolit pada tanggal 27 Mei 2012 meskipun dengan skripsi yang belum ditumpuk di sekretariat kampus. Pelantikan itu merupakan tahapan tahbisan yang paling sederhana memang. Akan tetapi, rasa syukurku tidak terkira. Ing atase bocah bajingan kaya aku iki kok ya isih diparingi welas asih sing ora main-main. Hatiku benar-benar dipenuhi rasa haru, ketidakpantasan, dan kerendahan diri, di hadapan Tuhan yang betul-betul baik.

Sekarang, aku sudah berdamai dengan masa-masa itu. Semoga pengalamanku menyusun skripsi menjadi bekal yang baik bagiku kelak dalam menyusun tesis.

Dan tahun ini, aku menjalani Tahun Orientasi Pastoral (TOP)!

Aku diberi kepercayaan di paroki Santa Maria Fatima Brebes, paroki paling barat keuskupan Purwokerto di deretan daerah Pantai Utara Jawa (Pantura). Paroki tersebut paroki yang tergolong muda. Baru genap sepuluh tahun pada tahun 2012 ini. Umatnya pun tidak banyak, sekitar 900-an jiwa.  900-an jiwa itu mewakili berbagai situasi: persebaran umat yang jauh, adanya tiga suku besar (Batak, Tionghoa, dan Jawa), tradisi hidup menggereja sebagai paroki yang belum matang, keterlibatan umat dalam hidup menggereja yang tidak merata (yang aktif itu-itu saja), dan lain sebagainya.

Setengah tahun sudah kualami hidup menggereja di paroki yang baru saja pulih dari konflik besar yang terjadi setahun yang lalu. Ada berbagai macam pergulatan yang aku alami. Tidak semua dapat aku ungkapkan dalam tulisan ini. Akan tetapi, bolehlah dikatakan semuanya memberikan kepadaku perspektif baru: tentang hidup menggereja, tentang menghadapi orang dengan berbagai macam karakter, tentang gambaran imamat, dan lain sebagainya. Perspektif-perspektif itu tidak aku dapat di Seminari Tinggi St. Paulus Kentungan atau di dalam diktat-diktat kuliah di kampus.

Harapanku, perspektif-perspektif yang aku dapat di Brebes dapat menjadi modal pengalaman yang baik bagi perjalananku menghayati imamat. Perjalanan menghayati imamat, ya, pokok ini penting, karena menjadi imam bukanlah pencapaian suatu status, bukanlah menjadi orang kaya baru, bukanlah menjadi seorang selebritis. Menjadi imam adalah perjalanan menghayati imamat seumur hidup. Sama sekali salah perjalanan seorang seminaris/frater berhenti ketika ia ditahbiskan. Tahbisan merupakan tanda bahwa perjalanan menghayati imamat memasuki saat-saat yang semakin serius. Tahbisan itu anugerah, bukan prestasi. Sebab jika berkenan, Tuhan pun dapat mencabut nyawa seseorang sehari sebelum ia ditahbiskan.

Oleh karena itu, saat-saat ini gambaranku akan imamat bukanlah suatu titik waktu ketika aku akan ditahbiskan, melainkan suatu titik waktu ketika aku akan mati sebagai seorang imam. Di belakang titik itu, membentang garis yang panjang, atau meminjam bahasa anak muda sekarang, terbentang “timeline” yang berisi bagaimana seumur hidup aku menghayati imamat.

Semoga aku dapat menjadi imam yang baik. Sesederhana itu saja.

Akhirnya,
Selamat tinggal, tahun 2012.
Terima kasih untuk segala pelajaran hidup tahun ini!

  

No comments:

Post a Comment