"Bukan setiap orang yang berseru kepadaku: Tuhan, Tuhan! akan masuk ke dalam Kerajaan Sorga, melainkan Dia yang melakukan kehendak Bapa-Ku di Sorga." (Matius 7, 21)
Masih ingat dua penjahat yang berada di samping Yesus di bukit Golgota? Ya, salah satu dari mereka diselamatkan oleh Yesus. Yesus ketika itu berkata, "Sesungguhnya, hari ini juga engkau akan ada bersama-sama dengan Aku di Firdaus." (Lukas 23, 43) Apa yang membuat orang tersebut dapat seketika itu masuk ke dalam kebahagiaan abadi?
Orang itu berkata demikian sebelumnya, "Kita memang selayaknya dihukum, sebab kita menerima balasan yang setimpal dengan perbuatan kita, tetapi orang ini tidak berbuat sesuatu yang salah. Yesus, ingatlah akan aku, apabila Engkau datang sebagai Raja."
Disposisi batin itu yang menyelamatkannya. Ia menyadari kedosaan yang ia miliki, kemudian memohon kerahiman Tuhan untuk hidupnya. Sederhana.
Penjahat itu seumur hidup berbuat dosa. Kitab Suci memang tidak menampilkan seluruh kehidupan pria tersebut. Akan tetapi, kita dapat membayangkannya. Kalau sampai seseorang dihukum dengan cara disalib, artinya orang tersebut telah melakukan banyak kejahatan yang "tidak biasa". Bisa jadi, selama hidupnya, orang tersebut telah membunuh berpuluh-puluh orang, merampok sekian banyak orang, memperkosa banyak perempuan, menghadirkan keresahan masyarakat, dan seterusnya.
Akan tetapi, semua itu tidak diperhitungkan Tuhan di akhir. Pertobatannya diterima oleh Yesus. Ia dianugerahi rahmat keselamatan yang bahkan pemuka-pemuka agama belum tentu mendapatkannya.
Iman membutuhkan perbuatan. Bukankah warisan rohani Santo Yakobus selalu kita kenang, "Iman tanpa perbuatan adalah iman yang mati, iman yang kosong?"
Iman bukanlah kesalehan pribadi, melainkan disposisi batin seseorang kepada Tuhan. Rajin berdoa, rutin ke Gereja, senang berziarah, sangat baik untuk kehidupan rohani kita, tetapi bukan satu-satunya yang menentukan kualitas iman kita. Mengapa? Karena iman bukan sekadar kesalehan. Iman yang berkualitas juga iman yang berkotor-kotor, iman yang kita perjuangkan di lingkungan tempat tinggal, sekolah, universitas, atau lingkungan kerja kita.
Ketika kecil, saya pernah bertanya-tanya dalam hati. Kalau bapak mencintai ibu dan kami anak-anaknya, mengapa beliau jarang sekali mengungkapkannya dalam bentuk-bentuk yang kelihatan? Sejak saya kecil, baru satu kali saya melihat bapak mencium ibu. Ketika itu, bapak juga mencium pipi kami. Ya, satu kali saja. Lantas, apakah dengan demikian bapak sebenarnya kurang mencintai ibu dan saya? Apakah kadar cinta bapak untuk saya tidak seberapa?
Saya kira tidak. Bapak mengungkapkannya dengan cara lain. Ketika saya mengalami musibah kecelakaan di kelas V SD, beliau menjadi orang yang menjaga saya 24 jam setiap hari selama dua minggu saya dirawat di rumah sakit. Ketika saya bersekolah di Seminari Mertoyudan, bapak bahkan rela memacu motor bututnya dalam hujan selama berjam-jam untuk sekadar menjenguk saya.
Bapak yang jarang mencium saya itulah yang sungguh mencintai saya. Cintanya ia buktikan dengan apa yang telah ia perjuangkan untuk saya selama hidupnya. Dan, kamu, pasti mengalami hal yang sama dengan orangtuamu.
Demikianlah iman. Kualitasnya tidak hanya diukur dari kesalehan pribadi atau keutamaan moral, tetapi juga dari tindakan-tindakan yang sama sekali "tidak berbau religius". Tuhan jauh lebih tahu itu, bahkan Ia mengenal lubuk hati setiap manusia, dan itu sebabnya Ia bersabda, "Bukan setiap orang yang berseru kepadaku: Tuhan, Tuhan! akan masuk ke dalam Kerajaan Sorga, melainkan Dia yang melakukan kehendak Bapa-Ku di Sorga."
06 December 2012
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment