Beberapa saat lalu, saya melihat video orang marah ketika diberi bantuan di pinggir jalan. Pasalnya, setelah bingkisan diterima, si pemberi berusaha mengambil foto. Tak sulit untuk mengerti bahwa si penerima bantuan tersinggung. Bagi dia, kalau mau bantu ya bantu saja. Tidak perlu pakai foto-foto.
Tadi pagi, saya membeli rokok di Jl. Sulaiman, Palmerah.
Karena masih cukup pagi, banyak orang membeli sarapan di jalan. Setelah rokok terbeli, saya pun memutuskan untuk sarapan. Maka berhentilah saya di satu gerobak bubur ayam.
Sumber: ulasan dammer_thetraveler di tripadvisor.com |
Sambil makan, saya lihat interaksi penjual bubur itu dengan para pembeli. Tiap kali ada yang mau bayar bubur yang dipesan, penjual itu menolaknya. “Hari ini gratis,” katanya. Selesai makan, saya bertanya kepadanya, “Siapa yang sponsorin, Bang?” Dia menjawab, “Itu, Pak Haji. Dia kasih modal buat hari ini, bahkan kasih upah terpisah buat saya juga, Mas. Dua ratus ribu.” Saya lanjut bertanya apakah setiap Jumat Pak Haji memberi bantuan seperti itu. Rupanya tidak, kata dia.
Sesaat sebelum pulang, saya bilang ke dia, “Mas, titip
terima kasih buat Pak Haji ya.” Saya termenung sepanjang jalan.
Memberi itu pada dasarnya
baik. Namun, tidak lalu dengan sendirinya kebaikan itu mutlak baik. Intensi dan
cara juga menentukan. Intensinya baik, tetapi kalau caranya diwarnai
kepentingan, supaya dilihat orang misalnya, penilaian moral atas tindakan/aksi kebaikan
itu bisa berbeda.
Pada kasus pertama, tentu baik memberikan bingkisan bantuan
kepada orang. Namun, kalau caranya seperti itu, penerima bantuan dijadikan
objek. Kecuali benar-benar tidak berdaya dan terpaksa, wajar penerima bantuan itu memperjuangkan harga dirinya. Jika foto-foto itu dilakukan tanpa informed-consent,
aksi itu rentan jadi eksploitasi yang mengabdi pada kepentingan si pemberi
bantuan.
Sebaliknya, pada kasus kedua, kebaikan bekerja dengan menempatkan penerima bantuan sebagai subjek. Si penerima bantuan
diberi bantuan dengan syarat ia menggratiskan apa yang ia jual selama sehari
pada pembelinya. Ia dibantu, tapi juga diangkat martabatnya, karena didorong
untuk juga berbagi kebaikan kepada orang lain. Efek kebaikan Pak Haji akhirnya tidak hanya
dirasakan oleh penjual bubur ayam itu, tapi juga setiap pembeli karena semua merasa gembira dan tersentuh pada
kebaikan yang sederhana itu.
Bagi saya sendiri, pengalaman itu jadi pengingat yang baik. Memberi itu baik, tapi intensi dan caralah yang kemudian menentukan apakah pemberian itu tulus atau tidak, apakah pemberian itu mengangkat harkat dan martabat orang atau malah justru merendahkannya, dan apakah pemberian itu dapat menjadi sarana multiplikasi kebaikan-kebaikan lainnya.
No comments:
Post a Comment