Kelas XI SMA, saya mulai cemas memikirkan hidup. Akan seperti apa hidup saya sepuluh tahun mendatang? Apa saya mampu menghadapi semua tantangan yang hidup berikan?
Cemas agak beda dari rasa takut. Saat takut, biasanya ada
objeknya. Takut pada pakaian yang menggantung di hanger karena sebelumnya lihat
orang yang gantung diri, misalnya. Itu saya alami sendiri di kelas XII SMA.
Kira-kira saat magrib, saya sampai misuh-misuh di dormit (bangsal tidur
asrama), “Woiii, sapa ki sing nggantung seragam nang ndhuwur pintu?”
Pelajarannya, jangan pernah lihat mayat orang gantung diri secara langsung. Too
disturbing. Nah, cemas akan masa depan lain, karena objeknya tak begitu
jelas. Dan, itu menyiksa.
Membaca The Fifth Mountain (Gunung Kelima)
jadi pengalaman yang mengubah hidup. Salah satu bagian di buku itu mengajak
saya untuk membaptis diri sendiri, dengan nama yang dapat merangkum seluruh
pergulatan agar jadi kekuatan. Saya baptislah diri ini dengan nama Keberanian.
Nama kecilnya Rani, hehe. Nama itu akhirnya benar-benar jadi kekuatan ekstra
saat rasa cemas berkecamuk dalam diri, sampai sekarang!
Siapa sangka, sekarang saya bekerja di tempat kelahiran buku yang mengubah hidup saya itu. Kadang berpapasan dengan Mbak Tanti yang menerjemahkan naskahnya, atau Mas Iwan yang mendesain sampulnya. Meminjam istilah anak-anak indie yang suka senja dan kopi, mungkin ini cara semesta berbisik pada saya, “Go, masih ingat apa yang hatimu rasakan di kelas XI SMA?”
Selamat ulang tahun ke-47, Gramedia Pustaka Utama.