25 March 2021

Melawan Kecemasan

Kelas XI SMA, saya mulai cemas memikirkan hidup. Akan seperti apa hidup saya sepuluh tahun mendatang? Apa saya mampu menghadapi semua tantangan yang hidup berikan?

Cemas agak beda dari rasa takut. Saat takut, biasanya ada objeknya. Takut pada pakaian yang menggantung di hanger karena sebelumnya lihat orang yang gantung diri, misalnya. Itu saya alami sendiri di kelas XII SMA. Kira-kira saat magrib, saya sampai misuh-misuh di dormit (bangsal tidur asrama), “Woiii, sapa ki sing nggantung seragam nang ndhuwur pintu?” Pelajarannya, jangan pernah lihat mayat orang gantung diri secara langsung. Too disturbing. Nah, cemas akan masa depan lain, karena objeknya tak begitu jelas. Dan, itu menyiksa.

Membaca The Fifth Mountain (Gunung Kelima) jadi pengalaman yang mengubah hidup. Salah satu bagian di buku itu mengajak saya untuk membaptis diri sendiri, dengan nama yang dapat merangkum seluruh pergulatan agar jadi kekuatan. Saya baptislah diri ini dengan nama Keberanian. Nama kecilnya Rani, hehe. Nama itu akhirnya benar-benar jadi kekuatan ekstra saat rasa cemas berkecamuk dalam diri, sampai sekarang!

Siapa sangka, sekarang saya bekerja di tempat kelahiran buku yang mengubah hidup saya itu. Kadang berpapasan dengan Mbak Tanti yang menerjemahkan naskahnya, atau Mas Iwan yang mendesain sampulnya. Meminjam istilah anak-anak indie yang suka senja dan kopi, mungkin ini cara semesta berbisik pada saya, “Go, masih ingat apa yang hatimu rasakan di kelas XI SMA?”

Selamat ulang tahun ke-47, Gramedia Pustaka Utama.





16 March 2021

Perpisahan di Masa Pandemi

Siang ini, Gramedia Pustaka Utama (GPU) mengadakan pertemuan internal via Zoom untuk melepas salah satu editor seniornya yang memasuki masa purnakarya, yaitu Mbak Ramayanti, atau biasa dipanggil Mbak Yanti.

Beberapa orang memberikan sharing pengalaman. Mbak Greti mengisahkan bagaimana Mbak Lies memperkenalkan Mbak Yanti sebagai karyawan baru, dan bagaimana Mbak Yanti bergulat dengan dilema antara pekerjaan dan tuntutan hidup berkeluarga. Mas Wandi mengaku bahwa ia belajar banyak dari Mbak Yanti dalam menerjemahkan teks asing ke bahasa Indonesia, khususnya bagaimana membuat hasil terjemahan itu menjadi komunikasi yang hidup. Mas Priyo berkata bahwa dua hal yang menurutnya esensial untuk dimiliki seorang pekerja, yaitu attitude (sikap yang baik) dan skill (kemampuan), selama ini telah Mbak Yanti tunjukkan. Mbak Sasti, dengan terbata-bata karena terharu, menyampaikan bahwa Mbak Yanti memiliki keikhlasan. Keikhlasan itu pulalah yang membuat pengorbanannya sebagai seorang ibu tak sia-sia. Mbak Widit mengucapkan selamat menikmati kalender dengan tanggal merah semua kepada Mbak Yanti, selain mengungkapkan kenangannya berkunjung ke rumah Mbak Yanti dan diberi suguhan cheese steak yang sangat lezat. Mbak Nina secara khusus menyebut bahwa Mbak Yanti adalah orang yang superteliti dan profesional. Kecuali itu, pertama-tama Mbak Yanti adalah orang yang sangat baik.

Saya sendiri bekerja di GPU baru kemarin sore. Itu sebabnya, keteladanan mengenai dedikasi, ketelitian, profesionalitas, kebaikan, dan kerendahan hati seperti yang Mbak Yanti tunjukkan begitu berharga. Jujur saya tak terlalu mengenal Mbak Yanti. Ya sebatas tahu saja. Tetapi, berpisah dengan orang baik, meski tidak begitu kenal pun, rasanya tetap haru dan kehilangan.

Ya, begitu baik, karena dengan anak baru kemarin sore seperti saya pun Mbak Yanti begitu rendah hati. Ketika kenang-kenangan pouch yang ia bagikan ke semua karyawan GPU saya terima, saya mengirim pesan Whatsapp ke Mbak Yanti: “Hai, Mbak Yanti. Ini Igo. Terima kasih pouch-nya ya, Mbak. Cakep, aku dapat yang motif daun. Semoga sehat selalu dan menyenangkan nanti masa pensiunnya.” Dia membalas, “Halo, Igo, trims untuk doanya. Igo yang betah ya di GPU, kalau bisa sampai pensiun.”

Menurut saya, inilah legacy Mbak Yanti yang paling unggul, yaitu kerendahan hati dan kebaikannya. Kita bisa superexcellent dalam kinerja, tapi tanpa kerendahan hati dan kebaikan, kita tak meninggalkan apa-apa di hati orang lain. Mbak Yanti unggul di tanah yang subur itu, dan menyempurnakannya dengan profesionalitas dan dedikasinya.

Pada pertemuan tadi, Mbak Yanti sempat mengutarakan keinginannya, yang tak diduga begitu mulia, sederhana, tak muluk-muluk: "Cita-cita saya sekarang mau main ke Malang bersama cucu, ke Jatim Park." Semoga kesampaian ya, Mbak. Terima kasih banyak atas keteladanannya. We wish you a happy retirement.



05 March 2021

Tentang Memberi

Beberapa saat lalu, saya melihat video orang marah ketika diberi bantuan di pinggir jalan. Pasalnya, setelah bingkisan diterima, si pemberi berusaha mengambil foto. Tak sulit untuk mengerti bahwa si penerima bantuan tersinggung. Bagi dia, kalau mau bantu ya bantu saja. Tidak perlu pakai foto-foto.

Tadi pagi, saya membeli rokok di Jl. Sulaiman, Palmerah. Karena masih cukup pagi, banyak orang membeli sarapan di jalan. Setelah rokok terbeli, saya pun memutuskan untuk sarapan. Maka berhentilah saya di satu gerobak bubur ayam.

Sumber:  ulasan dammer_thetraveler di tripadvisor.com

Sambil makan, saya lihat interaksi penjual bubur itu dengan para pembeli. Tiap kali ada yang mau bayar bubur yang dipesan, penjual itu menolaknya. “Hari ini gratis,” katanya. Selesai makan, saya bertanya kepadanya, “Siapa yang sponsorin, Bang?” Dia menjawab, “Itu, Pak Haji. Dia kasih modal buat hari ini, bahkan kasih upah terpisah buat saya juga, Mas. Dua ratus ribu.” Saya lanjut bertanya apakah setiap Jumat Pak Haji memberi bantuan seperti itu. Rupanya tidak, kata dia.

Sesaat sebelum pulang, saya bilang ke dia, “Mas, titip terima kasih buat Pak Haji ya.” Saya termenung sepanjang jalan.

Memberi itu pada dasarnya baik. Namun, tidak lalu dengan sendirinya kebaikan itu mutlak baik. Intensi dan cara juga menentukan. Intensinya baik, tetapi kalau caranya diwarnai kepentingan, supaya dilihat orang misalnya, penilaian moral atas tindakan/aksi kebaikan itu bisa berbeda.

Pada kasus pertama, tentu baik memberikan bingkisan bantuan kepada orang. Namun, kalau caranya seperti itu, penerima bantuan dijadikan objek. Kecuali benar-benar tidak berdaya dan terpaksa, wajar penerima bantuan itu memperjuangkan harga dirinya. Jika foto-foto itu dilakukan tanpa informed-consent, aksi itu rentan jadi eksploitasi yang mengabdi pada kepentingan si pemberi bantuan.

Sebaliknya, pada kasus kedua, kebaikan bekerja dengan menempatkan penerima bantuan sebagai subjek. Si penerima bantuan diberi bantuan dengan syarat ia menggratiskan apa yang ia jual selama sehari pada pembelinya. Ia dibantu, tapi juga diangkat martabatnya, karena didorong untuk juga berbagi kebaikan kepada orang lain. Efek kebaikan Pak Haji akhirnya tidak hanya dirasakan oleh penjual bubur ayam itu, tapi juga setiap pembeli karena semua merasa gembira dan tersentuh pada kebaikan yang sederhana itu.

Bagi saya sendiri, pengalaman itu jadi pengingat yang baik. Memberi itu baik, tapi intensi dan caralah yang kemudian menentukan apakah pemberian itu tulus atau tidak, apakah pemberian itu mengangkat harkat dan martabat orang atau malah justru merendahkannya, dan apakah pemberian itu dapat menjadi sarana multiplikasi kebaikan-kebaikan lainnya.