Antasena adalah satu dari sedikit karakter wayang yang hanya dijumpai
dalam tradisi Jawa. Artinya, ia tidak dijumpai dalam tradisi Mahabharata.
Antasena adalah anak dari Werkudara (Bima) dan Dewi Urangayu, putri Sang Hyang
Baruna, penguasa laut. Ia adalah putra ketiga Werkudara setelah Antareja (dari
Dewi Nagagini) dan Gatotkaca (dari Dewi Arimbi).
Dalam pedalangan, ia dikenal sebagai kesatria yang sangat sakti, tetapi
nyentrik. Seperti Werkudara, ia menggunakan bahasa ngoko kepada siapa pun. Penampilannya urakan, terkesan tidak
serius. Sering disebut gemblung. Wisanggeni,
sepupunya, menyebutnya “cah edan”.
Kesaktiannya tak tertandingi, baik oleh Antareja, Gatotkaca, maupun
kesatria-kesatria Pandawa yang lain. Ia mampu terbang, menembus bumi, dan
menyelam di air. Kulitnya terlindung dengan sisik udang sehingga kebal dari
senjata apa pun. Satu-satunya yang tingkat kesaktiannya sejajar dengan Antasena
hanyalah Wisanggeni.
Antasena lahir di lautan secara prematur. Ia dibesarkan oleh Sang Hyang
Antaboga dan seperti Gatotkaca dan Wisanggeni, dididik di Kawah Candradimuka.
Bersama Wisanggeni, ia bersedia menjadi korban untuk kemenangan Pandawa dalam
perang Bharatayudha. Mereka moksa ketika menghadap Sang Hyang Wenang, leluhur
para dewa.
Itulah Antasena. Meski merupakan seorang kesatria seperti yang lain, ia
menempuh jalan yang berbeda. Dan, justru karena berbeda, banyak yang kemudian
mengidolakannya. Salah satunya bapak. Antasena adalah karakter wayang idola bapak.
Di ruang tamu rumah, wayang kulit Antasena masih terpajang. Foto profil akun
Facebook bapak adalah foto Antasena. Melihat foto itu, Agung Bramanthya, teman
saya, bertanya kepada bapak, “Punika
sinten, Pak?” Bapak lalu membalas, “Tokoh wayang idola, Antasena. Nek perang menangan, rada gemblung ning seneng tetulung mbelani
sing bener. Kuwi wigatine.”
Jalan yang Antasena tempuh sebagai seorang kesatria menurut saya adalah
jalan pengosongan diri. Sejak lahir, ia menghadapi begitu banyak tantangan.
Meski demikian, Penyelenggara Kehidupan menyayanginya. Melalui asuhan Sang Hyang
Antaboga, Antasena bertumbuh. Kerasnya tempaan Kawah Candradimuka memupuk tak
hanya kesaktiannya, tapi juga hati yang jernih untuk memiliki semangat
berkorban. Pengorbanan itulah kesempurnaan jalan kesatria Antasena. Ia tidak
lagi berminat mengisi hidupnya dengan hal-hal yang fana, tapi sebaliknya,
mengosongkan diri. Dan lihatlah, jalan itu menjadi jalan yang membebaskan. Ia
dapat meluluhlantakkan seluruh pasukan Kurawa dengan tangannya, tapi memilih
mendengarkan dan taat pada permintaan Sang Hyang Wenang untuk tidak ikut
bertempur dalam perang Bharatayudha.
Bapak tentu tidak sama dengan Antasena. Ia hanya mengidolakannya. Akan
tetapi, dalam hidupnya bapak menurut saya telah berusaha menelusuri jalan yang Antasena
tempuh, yaitu jalan pengosongan diri.
Bapak tak pernah terlalu memperhatikan kepentingan dirinya. Yang ia lelimbang dan perhatikan adalah
kepentingan orang-orang lain, terutama yang ia sayangi. Pernah ada masanya
bapak senang sekali membelikan barang-barang untuk ibu, padahal ibu tidak
pernah meminta. Lalu, seperti nanti pada bagian lain dikisahkan oleh Pak Heri,
dulu hampir setiap pulang mengajar les privat, bapak membawa oleh-oleh, entah
makanan atau minuman. Saking seringnya, kepulangan bapak selalu kami
tunggu-tunggu. Kami menunggu ingin tahu apa isi kresek yang bapak bawa.
Pernah suatu kali bapak tidak membawa oleh-oleh apa pun. Kami yang
menyambut bapak di depan kecelik.
Tidak ada kudapan apa-apa yang tercantol di sepeda motor. Bapak sendiri sepertinya
jadi merasa nggak enak juga, tahu bahwa anak-anaknya mengharapkan oleh-oleh.
Atau, contoh lain, kacamata bapak. Meski patah tangkainya, untuk apa
membeli yang baru kalau bisa disiasati? Dilakbanlah kacamata itu (Iya, dengan
lakban yang cokelat itu). Bapak mah bodo
amat apa kata orang. Yang penting secara fungsional, kacamata itu bisa
dipakai.
Baktinya pada Gereja juga menurut saya merupakan tanda pengosongan diri.
Bapak adalah pribadi yang introvert, pendiam, lebih nyaman sendiri (ini semua
terwariskan ke diri saya). Namun, dari waktu ke waktu perjalanan pengosongan
diri bapak makin tampak: ia mau lebih terlibat, rela bersusah-susah menyusun
renungan dan buletin yang serapan bacanya tak terukur, serta bersedia
meluangkan waktu untuk mengajar sebagai guru agama dan melayani sebagai
prodiakon.
Meski demikian, toh, pada akhirnya, seperti Antasena bapak tetap
“nyentrik”. Ia tetap menjadi diri sendiri dengan seluruh kekhasannya. Saya
tidak tahu bagaimana, tapi saya melihat bapak ini sebenarnya orang yang sangat
lucu. Sangat lucu karena bapak sangat autentik.
Kalau saya lihat hidup bapak dalam satu lintasan waktu, kilasan-kilasan
pengenalan saya yang tak sempurna berkelebatan. Bapak adalah anak kedua dari
tujuh bersaudara. Mereka semua tinggal di Kota Semarang, dan sempat
berpindah-pindah rumah. Bapak dibaptis jadi Katolik berkat salah seorang suster
di gereja Katedral Semarang. Setelah dibaptis, seluruh keluarga bapak ikut.
Pendidikan SMP kemudian bapak tempuh di Semanu, Gunungkidul. Pasti
masa-masa SMP begitu mengesan bagi bapak, sebab setelah berkeluarga bapak masih
sering menyempatkan diri berkunjung ke Gunungkidul, ke tempat Mbah Mitro dan
Mbah Semi. Lulus SMP, bapak sekolah di Seminari Mertoyudan. Masuk ke dalam
angkatan 76. Nah, di seminari saya tidak tahu bapak seperti apa. Yang mungkin
lebih ingat adalah teman-teman seangkatannya. Mungkin bapak adalah seminaris
yang “nakal”, tapi label “nakal”—menurut saya—bisa bias dengan “autentik”.
Setelah empat tahun di Mertoyudan, bapak tidak melanjutkan ke tahap
selanjutnya (novisiat). Ia rupanya tidak langsung menempuh kuliah. Sesuai
cerita dari Mbak Eling Putri, bapak sempat ingin mengambil waktu sendiri. Dan,
bapak benar-benar mengambil waktu itu. Ia pergi ke Kalimantan, entah ngapain saja di sana. Yang jelas, bapak
sendiri mengakui bahwa masa-masa di Kalimantan adalah masa gelap hidupnya.
Mungkin bapak berada di titik nadir; tak tahu ke mana dan memilih apa. Beberapa
bulan di Kalimantan, bapak akhirnya pulang ke Semarang.
Penyelenggara Kehidupan (masih dan
selalu) menyayanginya.
Ia kemudian belajar di IKIP Semarang—sekarang Unnes. Menjadi guru bahasa
Inggris, diterima sebagai Pegawai Negeri Sipil, dan mengembara ke tempat tugas
yang baru, wilayah yang asing dan menantang: Bumiayu. Di tempat itu, ia bertemu
dengan ibu dan akhirnya membangun rumah tangga bersama. Putra pertama mereka,
Mas Puri, dipanggil Tuhan tanpa sempat hadir di dunia. Mei 1988, saya lahir.
Juli 1989, Vinora menyusul. Dan, yang terakhir, Juni 1995, Vito melengkapi
kebahagiaan ibu dan bapak.
Saya beruntung mengalami masa kecil yang indah. Ibu dan bapak rukun.
Pernah sih, sekali mereka bertengkar, entah apa penyebabnya sampai ibu menangis
waktu itu. Tapi ya cuma sekali itu saja. Selebihnya, meski segalanya sederhana,
semuanya komplet. Kebersamaan dengan bapak saya alami kurang lebih sampai kelas
3 SMP, karena setelah itu saya mulai menimba ilmu di luar kota.
Meski bapak adalah seorang guru, ia adalah seorang murid sejati. Ia senang
mempelajari sesuatu, misalnya teknologi baru. Saat Twitter belum seramai
sekarang, bapak pernah minta saya mengajarinya. Ia juga senang memperdalam
pengetahuan iman. Untuk itu, ia banyak membaca buku atau artikel. Ia menghidupi
sendiri nasihat yang pernah ia berikan kepada saya saat masih duduk di kelas X
Seminari Mertoyudan: non scholae sed
vitae discimus.
Pelajari dan cobalah hal-hal baru dengan sungguh-sungguh, bahkan kalau
perlu sampai kita jengkel. Bapak kerap seperti itu. Di rumah, kalau ada hal-hal
yang tidak beres, bapak akan mencoba memperbaikinya sendiri. Karena intens,
kalau sudah menyentuh batas kesabaran bapak, sementara yang ia kerjakan belum
beres juga, tak jarang ia muring-muring
juga. Pernah waktu saya masih remaja, di luar rumah gerimis, sementara kualitas
gambar siaran televisi buruk sekali. Bapak pun naik ke atas genteng, tak peduli
akan gerimis yang belum berhenti. Ia memutar-mutar antena dan dari bawah saya
berkali-kali berteriak, “Beluumm … Masih jelek … Beluuumm ….” Sempat lama
mencoba, saya akhirnya mendengar di atas genteng bapak akhirnya misuh-misuh karena gambarnya tidak
kunjung membaik.
Jalan pengosongan diri yang bapak tempuh terus ia perjuangkan sampai
akhir hidupnya. Saya heran sekaligus kagum pada kekuatan batin bapak.
Belakangan ia memiliki sejumlah penyakit, dan sungguh kenosis (pengosongan diri)-lah yang memberinya kekuatan untuk
melawan semua penyakit itu. Ia sendiri pernah menulis di Facebook: “Wahai
penyakit: jantung, gula, asam lambung, kolesterol, dan terutama roh kejahatan,
dengan pertolongan Bunda Maria, aku takkan membiarkan kalian menguasaiku. Aku
takkan mati dengan mudah. Lawan!” Saya yakin ibu tahu persis perjuangan bapak
ini. Ia melihat semuanya, seperti ketika bapak mencoba ramuan herbal seperti
jus pare campur ini itu macam-macam.
Bapak sempat ingin memiliki tempat untuk tetirah, beristirahat. Yang mungkin bapak bayangkan adalah suatu
tempat di perdesaan; masih ada banyak pepohonan hijau, sawah, dan kicau burung;
dan bapak bisa menikmati keajaiban-keajaiban kecil itu setiap hari. Untuk itu,
bapak dan ibu sempat berkeliling ke banyak tempat di sekitar Purwokerto. Ibu
bercerita kepada saya tempat yang sudah dikunjungi begitu banyak.
Namun, Tuhan menghendaki lain. Seakan Tuhan ingin mengatakan, “Jud,
murid-Ku yang setia, pengabdianmu sudah cukup. Mari pulang, ‘di rumah Bapa-Ku
banyak tempat tinggal’. Seperti yang kamu inginkan, kamu bisa beristirahat, tetirah, dalam damai abadi.”
Saya sungguh
bersyukur atas kehadiran bapak dalam hidup saya: seorang kepala keluarga yang
baik dan setia; seorang pemberani yang nyentrik, autentik, lucu, pandai, dan
inspiratif; dan seorang kesatria yang menempuh jalan pengosongan diri seperti
Antasena, idolanya, tempuh, dan Yesus, gurunya, hayati (Bdk. Filipi 2: 5–8).