10 October 2014

Tentang Mbah Eling dan Romo Hari Kustono

Belum lama ini, saya berkunjung ke rumah simbah di Semarang. Mengejutkan ketika mbah Eling harus bertanya "Njenengan punika sinten?" ketika saya datang. Baru ketika saya menyebutkan dengan agak keras "Kula Igo, mbah", beliau mengingat saya kembali.

Saya mafhum. Mbah Eling sudah sepuh. Beliau menuturkan bahwa pada tahun ini usianya genap 84 tahun. Memori jangka pendek sedikit demi sedikit telah terkikis. Yang muncul kembali justru memori yang terekam lama, seperti keterlibatannya dalam perang kemerdekaan. Ya, simbah beberapa kali menceritakan kepada saya tentang keikutsertaannya menjadi tentara pada zaman Jepang (awal tahun 1940-an) dan zaman clash (upaya Belanda menjajah kembali Indonesia di akhir tahun 1940-an).

Yang akhirnya menyentuh hati saya adalah ketika simbah berbicara mengenai situasi batinnya hari-hari ini. Ada nada keluhan dalam tutur kata simbah ketika beliau menceritakan penyakit gulanya -beliau paling terganggu ketika tidak bisa tidur dengan nyenyak. Hati saya semakin tersentuh ketika simbah menyatakan sudah siap untuk dipanggil Tuhan. Sembari merentangkan kedua tangannya, mbah Eling berkata, "Kalau Gusti sudah menghendaki, mangga." Saya hanya terdiam melihatnya. Hati saya penuh empati dan kekaguman. Mbah Eling benar-benar orang yang imannya kuat.

Iman yang kuat itu pula yang saya lihat dalam diri Rm. A. Hari Kustono, Pr yang dipanggil Tuhan hari ini. Dua minggu terakhir, beliau harus berhadapan dengan kanker darah ganas yang menyerang tubuhnya. Sebelum dirawat di Panti Rapih, beberapa waktu yang lalu di salah satu kelas ketika mengajar, beliau bahkan masih dapat berkelakar, "Sepertinya umur saya tinggal satu bulan."

Romo Hari adalah seorang imam yang sederhana dan rendah hati. Sederhana, karena hidupnya tidak terikat dengan harta duniawi. Mobil tidak beliau miliki, ke mana-mana beliau menggunakan sepeda motor Supra miliknya. Harta yang ia miliki ia bagikan kepada orang yang membutuhkan. Beliau memiliki beberapa anak angkat yang biaya pendidikannya beliau tanggung. Rendah hati, karena beliau senantiasa menghormati orang lain melebihi dirinya sendiri. Beliau selalu berinisiatif menyapa para frater dengan tulus dan penuh kasih sayang. Ketika Seminari Tinggi menjadi tempat tinggal para pengungsi erupsi gunung Merapi tahun 2010, kerendahan hatinya membuat kami kagum. Beliau membangun jemuran bagi para pengungsi bahkan dengan menggotong di atas bahunya sendiri bambu-bambu yang ada. Ketika di kebun belakang, ada senam yang kebanyakan dihadiri oleh ibu-ibu, romo Hari juga dengan penuh semangat mengikuti senam. Kerendahan hatinya justru yang membuatnya besar. Ia sangat dihormati di kalangan imam lain. Bahkan para imam yesuit pun menghormati romo Hari sebagai orang yang suci dan rendah hati.

Ada pengalaman yang tidak akan saya lupakan soal kerendahan hati romo Hari. Saat itu, beliau sedang duduk bersama kami para frater di kursi ijo (baca: tempat santai para frater). Kami sedang berbicara soal kandidat uskup untuk menggantikan Mgr. I. Suharyo, Pr yang diberi tugas baru menjadi uskup di Jakarta. Salah satu kandidat yang populer bagi kami para frater tentu saja romo Hari (mengingat kerendahan hati dan kebaikannya). Kami pun menggoda beliau dengan penuh keceriaan, "Kados pundi, romo, siap dados uskup?" Jawabannya menggemparkan, membuat kami meledak dalam tawa. Tanggapan beliau, "Walah, boten, boten. Kula punika namung telek."

Angkatan kami: Agung Bramanthya, Bram Mahendra, Megandika Wicaksono, Vigo Milandi, Hendy Kiawan, Dimmas Cahya, Andika Bhayangkara, Wahyu Rusmana, Fajar Kristianto, David Susilo Nugroho, Nian Destratama, dan Heri Krismawanto, takkan pernah melupakan pendampingan romo Hari sebagai wali tingkat kami. Kenangan berziarah bersama ke Jatiningsih, Klepu, dengan bersepeda motor -bahkan sampai kehujanan akan selalu lekat dalam ingatan ini. Harum kopi angkringan itu akan selalu terhirup bersama dengan kenangan akan beliau.

Rm. A. Hari Kustono, Pr dan Dimmas Cahya
 

Mengusap rambut anak jalanan


Njajakke bakso di pinggir jalan


Hadiah ulang tahun dari angkatan kami

Sugeng tindak, Rm. A. Hari Kustono, Pr, pangen kawula. Rest in Peace.




4 comments:

  1. turut berduka cita. sosok multi talenta dan multi kontibusi rupanya begitu cepat dipanggil kembali oleh sang pencipta. smoga tenang dalam pangkuan bapa.

    ReplyDelete
  2. kula trenyuh nanging injij bahagia awit romo terbebas saking gerahing raga sukmanipun kanthi suka gambira sowan Gusti.

    ReplyDelete
  3. Th.M. Wara Kusharini12 October, 2014 20:01

    Dhik Tono-begitu saya memanggilnya- senantiasa memberikan 'hati' bagi saudara/i-nya. Kalau mendengar cerita orang-orang dan melihat foto-fotonya, tampaknya dia juga memberikan 'hati' bagi mereka. Hidupnya tidak lagi bagi diri sendiri dan ini mengharukan. Terima kasih Tuhan kaena Engkau memperkenankan kami mengalami hidup bersamanya. Selamat jalan dhik, Tuhan telah menunggumu dengan penuh sukacita

    ReplyDelete
  4. Sugeng ndalu frater Vigo, saya lia keponakan romo Hari Kustono. Terimakasih frater sudah berbagi cerita tentang mbah Eling dan Oom tono. Cerita di atas sangat menyentuh, membuat saya semakin menyadari bahwa hidup itu milik Tuhan, manusia hanya bisa melakukan yang terbaik, sisanya memasrahkan diri kepadaNya. Bagi saya pasrah kepada Allah itu tidak mudah, karena saya masih terikat harta duniawi (gadget baru, baju baru,dll). Semua itu membuat saya lupa bahwa "hidup" itu anugerah terbesar dari Allah. Lewat cerita ini saya semakin menyadari bahwa hidup itu bisa diisi dengan hal-hal yg lebih bermakna, berbagi kasih dg sesama, dan saya rasa itu jauh lebih membahagiakan daripada punya gadget terbaru. Saya mengenal oom tono dan sudah bnyk belajar dari beliau, lewat blog ini saya mengenal mbah eling dengan kepasrahannya yang luar biasa. Sekali lagi terimakasih atas sharing yang sangat menginspirasi ini. Terus berkarya. Berkah Dalem

    ReplyDelete