Perjalanan kesadaranku mungkin mirip sejarah pemikiran Eropa. Atau, aku semata-mata lebih mudah memahami sejarah pemikiran Eropa dengan mengacu pengalamanku sendiri. Jika disederhanakan, ada tiga periode utama: religiusitas, sekularisme, dan hm, pasca-sekularisme.
Eropa mengalami era Kristianitas dari awal Masehi hingga akhir Zaman Pertengahan atau kira-kira abad ke-15. Aku juga mengalami periode Kristianitas-ku dari kanak hingga akhir usia belasan. Aku dibaptis saat bayi, dididik dalam keluarga taat, dan belajar di sekolah Katolik hingga lulus SMA.
Setelah itu, Eropa memasuki zaman pencerahan dan rasionalitas. Ketergantungan pada agama dipangkas. Orientasi manusia bukan lagi surga, melainkan dunia. Sekularisme adalah pemisahan agama dan kekuasaan negara. Hukum negara tak lagi mencari dasar pada ayat-ayat suci, melainkan pada keadilan bersama hari ini. Tak ada lagi orang boleh dihukum karena ayat-ayat. Manusia hanya boleh dihukum karena menyalahi keadilan di dunia. Aku juga mengalami era sekularisme ketika memasuki usia 20-an. Hukum-hukum di dalam diriku tak lagi dikuasai aturan model Sepuluh Perintah Allah atau dogma Gereja. Aku memiliki hati nurani dan akal budi yang bisa menimbang baik-buruk secara kontekstual. Pada periode ini aku membenci institusi agama. Lembaga agama adalah makhluk yang harus dicurigai. Perannya harus dibuat sekecil mungkin, jika tidak bisa dilenyapkan. Aku menyukai lagu John Lennon: Imagine there's no heaven. And no religion too...
Menjelang 40-an aku tampaknya memasuki era baru. Aku tak lagi memusuhi agama. Mungkin karena aku sudah berhasil membebaskan diri darinya selama dua puluh tahun ini. Sama seperti terhadap ayahku. Setelah aku berhasil lepas dan mandiri, aku justru mampu menghargai Ayah. Agama, seperti Ayah, adalah kekuasaan yang, jika tidak pernah dilawan, akan menjadi penghalang aku bertumbuh sebagai individu. Tapi jika kau melawan agama, atau ayahmu, dengan tepat serta kemarahan yang pas, jangan berlebihan, kau akan tahu dengan cara baru bahwa mereka tak lain adalah darah, daging, dan roh yang membangun dirimu. Dalam kemerdekaanku, aku jadi bisa menghargai.
Aku tak tahu apakah Eropa juga mengalami pasca-sekularisme yang sama. Atau mungkin dengan cara yang berbeda.
Dalam periode pasca-sekularisme ini ada spiritualitas baru. Aku senang menyebutnya spiritualisme-kritis. Artinya, kau menghargai yang tak terlihat tak terukur, yang spiritual, yang rohani, tapi kau tak mengkhianati nalar kritismu.
Begini. Pada era beragama awal, hukum agama dipakai untuk memenjarakan nalar. Nalar kritis dianggap mengancam agama. Keadaan berbalik di tahap berikutnya. Pada era sekular, rasio atau nalar memusuhi agama, yang dulu memenjarakan mereka. Keduanya sesungguhnya berorientasi kekuasaan. Pada tahap pasca-sekularisme, masing-masing menyadari sifatnya dan bisa bernegosiasi. Spiritualitas menyerupai yang feminin. Ia memerlukan keterbukaan. Puncaknya adalah keterbukaan terhadap yang tak bisa diketahui. Nalar menyerupai yang maskulin. Ia membutuhkan kekakuan. Rigorous membutuhkan rigor. Ia memang harus mencoba mengetahui. Tapi yang pertama dalam sikap spiritual-kritis adalah terbuka. Sikap bersedia menerima. (Termasuk menerima, yaitu mengakui, ketidaktahuan.) Setelah itu barulah sikap menguji.
Sikap menguji tanpa kesediaan menerima ketidaktahuan sama saja dengan penolakan semata-mata.
Sikap terbuka tanpa kesediaan menerima ketidaktahuan sama saja dengan menutup diri.
Tapi sikap mengagungkan ketidaktahuan adalah kebodohan yang sangat berbahaya.
Jika kau menjadi bingung, baiklah sementara ini kembali pada rumusan yang semula. Spiritualisme kritis adalah penghargaan terhadap yang spiritual tanpa mengkhianati nalar kritis.
Eropa mengalami era Kristianitas dari awal Masehi hingga akhir Zaman Pertengahan atau kira-kira abad ke-15. Aku juga mengalami periode Kristianitas-ku dari kanak hingga akhir usia belasan. Aku dibaptis saat bayi, dididik dalam keluarga taat, dan belajar di sekolah Katolik hingga lulus SMA.
Setelah itu, Eropa memasuki zaman pencerahan dan rasionalitas. Ketergantungan pada agama dipangkas. Orientasi manusia bukan lagi surga, melainkan dunia. Sekularisme adalah pemisahan agama dan kekuasaan negara. Hukum negara tak lagi mencari dasar pada ayat-ayat suci, melainkan pada keadilan bersama hari ini. Tak ada lagi orang boleh dihukum karena ayat-ayat. Manusia hanya boleh dihukum karena menyalahi keadilan di dunia. Aku juga mengalami era sekularisme ketika memasuki usia 20-an. Hukum-hukum di dalam diriku tak lagi dikuasai aturan model Sepuluh Perintah Allah atau dogma Gereja. Aku memiliki hati nurani dan akal budi yang bisa menimbang baik-buruk secara kontekstual. Pada periode ini aku membenci institusi agama. Lembaga agama adalah makhluk yang harus dicurigai. Perannya harus dibuat sekecil mungkin, jika tidak bisa dilenyapkan. Aku menyukai lagu John Lennon: Imagine there's no heaven. And no religion too...
Menjelang 40-an aku tampaknya memasuki era baru. Aku tak lagi memusuhi agama. Mungkin karena aku sudah berhasil membebaskan diri darinya selama dua puluh tahun ini. Sama seperti terhadap ayahku. Setelah aku berhasil lepas dan mandiri, aku justru mampu menghargai Ayah. Agama, seperti Ayah, adalah kekuasaan yang, jika tidak pernah dilawan, akan menjadi penghalang aku bertumbuh sebagai individu. Tapi jika kau melawan agama, atau ayahmu, dengan tepat serta kemarahan yang pas, jangan berlebihan, kau akan tahu dengan cara baru bahwa mereka tak lain adalah darah, daging, dan roh yang membangun dirimu. Dalam kemerdekaanku, aku jadi bisa menghargai.
Aku tak tahu apakah Eropa juga mengalami pasca-sekularisme yang sama. Atau mungkin dengan cara yang berbeda.
Dalam periode pasca-sekularisme ini ada spiritualitas baru. Aku senang menyebutnya spiritualisme-kritis. Artinya, kau menghargai yang tak terlihat tak terukur, yang spiritual, yang rohani, tapi kau tak mengkhianati nalar kritismu.
Begini. Pada era beragama awal, hukum agama dipakai untuk memenjarakan nalar. Nalar kritis dianggap mengancam agama. Keadaan berbalik di tahap berikutnya. Pada era sekular, rasio atau nalar memusuhi agama, yang dulu memenjarakan mereka. Keduanya sesungguhnya berorientasi kekuasaan. Pada tahap pasca-sekularisme, masing-masing menyadari sifatnya dan bisa bernegosiasi. Spiritualitas menyerupai yang feminin. Ia memerlukan keterbukaan. Puncaknya adalah keterbukaan terhadap yang tak bisa diketahui. Nalar menyerupai yang maskulin. Ia membutuhkan kekakuan. Rigorous membutuhkan rigor. Ia memang harus mencoba mengetahui. Tapi yang pertama dalam sikap spiritual-kritis adalah terbuka. Sikap bersedia menerima. (Termasuk menerima, yaitu mengakui, ketidaktahuan.) Setelah itu barulah sikap menguji.
Sikap menguji tanpa kesediaan menerima ketidaktahuan sama saja dengan penolakan semata-mata.
Sikap terbuka tanpa kesediaan menerima ketidaktahuan sama saja dengan menutup diri.
Tapi sikap mengagungkan ketidaktahuan adalah kebodohan yang sangat berbahaya.
Jika kau menjadi bingung, baiklah sementara ini kembali pada rumusan yang semula. Spiritualisme kritis adalah penghargaan terhadap yang spiritual tanpa mengkhianati nalar kritis.
Ayu Utami, Simple Miracles, 55-57.
No comments:
Post a Comment