Losari, sebuah kota kecil di perbatasan Jawa Tengah dan Jawa Barat. Sungai mengalir membelah kota ini menjadi dua. Menandakan batas, yang bagi orang Losari sendiri telah menjadi bias. Batas itu bukan sesuatu yang memisahkan, melainkan justru mempersatukan. Sebab sebagaimana sungai kecil itu mengalir ke muara yang sama, demikian pula masyarakat mengalir ke tujuan yang sama. Di situlah relasi mereka dibangun, bahwa arah yang sama memberikan di hati masyarakat Losari kompas, yang tak rusak hanya karena suasana mistis yang begitu kuat di daerah itu.
Konon, wilayah di sebelah barat sungai Pemali yang berada di kota Brebes menjadi wilayah mistis yang kuat. Segala macam klenik dapat ditemukan di wilayah itu. Suasana itu memang dapat dirasakan. Just come and you will see.
Menjelang Maghrib, kulihat semakin banyak orang berlalu-lalang. Ada banyak laki-laki yang berdiri di sekitar kaki lima. Mungkin mereka membeli sesuatu untuk anak-anak mereka. Sementara jalan raya semakin gelap, tetapi juga semakin ramai oleh truk-truk besar yang mendistribusikan barang dari Jakarta ke daerah-daerah.
Ada saatnya pula aku duduk dalam hening bersama rimbun pohon mangga dan sumur tua di sebelah rumah salah seorang warga. Di muka pintu, dua orang anak kecil bermain-main dengan handphone. Entah apa yang mereka mainkan atau lihat. Ketika aku mendekat, mereka sempat menatap wajahku sebelum berhenti tertawa-tawa.
"Lagi lihat apa kalian?" tanyaku.
Tanpa kata, salah satu dari mereka menyerahkan padaku handphone yang ia pegang. Saat itu juga aku tahu bahwa handphone itu sedang menampilkan potongan film Warkop DKI, ketika Indro sedang berjoget bersama seorang pocong.
Aku tersenyum kecut.
"Kalian Katolik, kan?
Mereka mengangguk. Kemudian, kepada salah seorang anak aku bertanya, "Apakah kamu di sekolah ada pelajaran agama?"
"Ada. Pelajaran agama Islam."
"Bukan itu. Pelajaran agama Katolik, maksud saya."
"Tidak ada. Dulu pernah ada, tetapi sekarang tidak ada. Tidak ada gurunya. Guru yang dulu tidak boleh mengajar agama di Losari oleh suaminya. Sekarang mereka di Magelang," jelas anak itu.
"Jadi tidak ada ya?"
"Ada kok," kata anak itu. Jawaban itu membuatku bingung.
"Kami ikut pelajaran agama Islam," tambahnya.
"Memang kalian bisa kalau ujian?" aku tidak berhenti bertanya.
"Sedikit, kan nyontek."
Sampai di sini, aku tidak kuasa menahan haru. Keterbatasan menciptakan kesulitan-kesulitan. Tetapi manusia yang berakal budi tidak akan pernah lelah berusaha, betapapun dalam bentuk yang begitu sederhana. Pijar-pijar itu kulihat pada diri anak di hadapanku ini, dengan pengakuannya, dengan ketulusan hatinya, dengan pergulatan iman yang ia alami.
Bagaimana ia mulai menghayati kekatolikannya ketika dalam pelajaran agama diajarkan kepadanya bahwa Yesus tidak lebih dari seorang nabi?
Dapatkah kita bayangkan perasaannya, jika dalam pelajaran agama dinyatakan secara jelas bahwa orang-orang Nasrani termasuk orang-orang kafir, yang akan berakhir di kekekalan api?
Bagaimana ia menghadapi pertentangan-pertentangan iman itu, sementara dalam pelajaran agama, ia harus menjawab dengan benar, sesuai dengan apa yang diajarkan kepadanya?
Pertanyaan-pertanyaan itu sempat berkecamuk secara singkat. Namun, aku tahu mereka tidak lagi memerlukan jawaban-jawaban yang mungkin justru tidak berguna bagi anak-anak ini. Pertanyaan-pertanyaan itu bagiku telah berubah menjadi kasih sayang bagi anak-anak Allah ini. Tuhan, lindungi dan peluklah anak-anak ini dengan Roh Kudus. Demikian doa singkatku.
Mereka masih bermain dengan handphone yang mereka pegang ketika aku bertanya untuk yang terakhir kalinya pada mereka.
"Kalau kamu nyontek, biasanya dapat berapa?"
"Dapat 50, kadangkala 60, pernah 70."
"70? Luar biasa, nyontek bisa dapat 70 ya," kataku.
Mereka tertawa. Aku menangis.