Kusebut kecil karena kali ini,
aku sudah berdiri kembali. Sedikit berbeda dengan jatuh cinta pertamaku dahulu,
yang meminta waktu sepuluh tahun untukku bangkit dan berjalan lagi.
Akan tetapi, ada yang sama dari “jatuh
cinta kecil” ini dengan “jatuh cinta-jatuh cinta”-ku sebelumnya. Aku jatuh
cinta pada perempuan yang tidak setiap hari aku melihatnya. Dan itu menyiksa
betul. Rindu tidak pernah toleran. Ia berpendar seperti darah di dalam tubuh, berputar-putar,
lalu memberi efek lemas setiap kali ia berkumpul di kepalaku.
Aku menyebut perempuan itu
bintang. Sebab, aku harus bersahabat dengan malam, yaitu kegelapan, situasi
yang mencerminkan bahwa apa yang aku rasakan adalah rahasia. Bolehlah kau
samakan dengan hari kiamat, yang tak seorang pun tahu. “Jatuh cinta kecil” itu
hanya sepengetahuanku.
Dia kusebut bintang juga karena
aku hanya melihat dari kejauhan kerlip indahnya. Perlu “teleskop” untuk
melihatnya lebih jelas. Dan Tuhan tidak tinggal diam. Diberikan-Nya “teleskop”
itu kepadaku. Ada dua “teleskop” yang paling baik. Pertama, “teleskop” kepadaku di akhir tahun 2011. Kedua, “teleskop” yang diberikan
kepadaku di awal tahun 2012.
Sudahlah, tempo hari Arswendo Atmowiloto
memang pernah memuji bahwa aku mempunyai kemampuan untuk menyusun kata-kata yang
romantis untuk perempuan. Tetapi, tidak. Berhadapan dengan kenyataan “jatuh
cinta” seperti ini, kadangkala luapan-luapan rasa sungguh-sungguh membekukan
pikiran. Aku pun sadar diri aku tidak pernah menuliskan pengalaman ini dengan
baik. Jadi, ya sudahlah. Seperti ini saja.
Tahun ini, aku juga disedot oleh
pengalaman menyusun skripsi.
Menyusun skripsi di Fakultas
Teologi Wedabhakti tidak main-main. Buang jauh-jauh pikiran nakal untuk asal
copas, atau bahkan membeli skripsi. Tuntutannya tinggi, dengan standar diksi
para doktor, dengan waktu penyusunannya yang terbatas, dan segala hal lain yang
menjadi rules of the game-nya.
Sudah tahu begitu, angkatanku
lumayan ngawur dalam menyusunnya. Ngawur dalam arti baru pada akhir semester pertama, semua baru mulai sibuk memfokuskan diri pada tugas pokok
tersebut. Dan di antara mereka, aku adalah yang paling ngawur. Aku
mengerjakannya di awal semester dua!
Selebihnya, tidak usah
dideskripsikan lagi. Aku benar-benar keponthal-ponthal.
Pelajaran moralnya, kawan, jangan pernah sekalipun dengan bangga ingin
menyaingi Bandung Bandowoso yang membangun seribu candi dalam semalam. Dia
berhasil karena dibantu oleh roh-roh halus. Sementara, skripsi? Kita harus mengerjakannya
sendiri. Roh-roh halus tidak bisa menulis di komputer untuk membantu kita.
Tanggal 16 April 2012, yang
menjadi deadline penyerahan skripsi untuk diujikan, menjadi tanggal yang tidak
dapat kulupakan. Skripsi yang sudah selesai kubuat belum dapat disetujui oleh
dosen pembimbing untuk diujikan. Menurutnya, masih ada beberapa bagian yang
harus dipermak supaya memenuhi standar yang ia tetapkan untuk diujikan. Aku
tidak bisa berbuat apa-apa. Aku hanya mampu menjelaskan apa yang aku alami pada
Rm. Indra Sanjaya sebagai perfek studi. Sisanya adalah adegan aku mengunci
kamar dan menyembunyikan tangis di balik bantal. Penolakan seperti ini amat
pahit kurasakan.
Di balik kepahitan itu, aku
merasa Tuhan benar-benar mencintaiku. Tidak ada satupun sahabat atau staf yang
menyalahkan dan mencibirku. Ungkapan “Edan” Rama J. Kristanto ketika dalam
wawancara rektor aku mensharingkan proses aku menyusun skripsiku lebih
kutafsirkan sebagai keterkejutan daripada penghakiman.
Selain melalui orang-orang di
sekitarku di seminari, Tuhan juga membesarkan hatiku melalui orang-orang di
luar seminari. Keluarga tidak pernah tahu persis bagaimana aku mengerjakan
skripsiku. Tetapi, aku sangat mengenang suatu sore ketika aku berada di teras
rumah bersama bapak. Aku bercerita padanya bahwa aku sedang sekuat tenaga
menyempurnakan skripsiku agar dapat diujikan. Sambil bercerita, sebenarnya aku
berharap bapak memberi kata-kata yang menghibur atau memotivasi. Akan tetapi, tidak
disangka tanggapan bapak yang kudengar adalah, “Kuwi kan tugasmu, yo rampungno dhewe.” Dalam hati, aku kecewa. “Owalah, pak, pak. Tanggapane mung kaya ngono
jan.” Tetapi, entah kenapa, kata-kata itu memang memacuku untuk mengalahkan
kata-kata bapak. Sore itu masih aku kenang.
Yang memberiku penghiburan hati
dalam arti yang sebenarnya justru Bapa Uskup. Setelah sebelumnya aku
menjelaskan apa yang aku alami, beliau menuliskan demikian melalui email:
Ytk. Fraer Igo. Berkah Dalem
Teruskan menuntaskan skripsi samapai disetujui oleh dosen pembimbing
untuk bisa diujikan.. Keputusan dari dosen pembimbing bahwa ujian skripsi Fr.
Igo di bulan September saja, kita mengikuti beliau. Saya doakan. jsunarkasj
Akan tetapi, rahmat kasih Tuhan
yang paling aku rasakan adalah bahwa aku diberi kesempatan untuk dilantik
menjadi Lektor dan Akolit pada tanggal 27 Mei 2012 meskipun dengan skripsi yang
belum ditumpuk di sekretariat kampus. Pelantikan itu merupakan tahapan tahbisan
yang paling sederhana memang. Akan tetapi, rasa syukurku tidak terkira. Ing atase bocah bajingan kaya aku iki kok ya
isih diparingi welas asih sing ora main-main. Hatiku benar-benar dipenuhi
rasa haru, ketidakpantasan, dan kerendahan diri, di hadapan Tuhan yang
betul-betul baik.
Sekarang, aku sudah berdamai
dengan masa-masa itu. Semoga pengalamanku menyusun skripsi menjadi bekal yang
baik bagiku kelak dalam menyusun tesis.
Dan tahun ini, aku menjalani Tahun
Orientasi Pastoral (TOP)!
Aku diberi kepercayaan di paroki
Santa Maria Fatima Brebes, paroki paling barat keuskupan Purwokerto di deretan
daerah Pantai Utara Jawa (Pantura). Paroki tersebut paroki yang tergolong muda.
Baru genap sepuluh tahun pada tahun 2012 ini. Umatnya pun tidak banyak, sekitar
900-an jiwa. 900-an jiwa itu mewakili
berbagai situasi: persebaran umat yang jauh, adanya tiga suku besar (Batak,
Tionghoa, dan Jawa), tradisi hidup menggereja sebagai paroki yang belum matang,
keterlibatan umat dalam hidup menggereja yang tidak merata (yang aktif itu-itu
saja), dan lain sebagainya.
Setengah tahun sudah kualami
hidup menggereja di paroki yang baru saja pulih dari konflik besar yang terjadi
setahun yang lalu. Ada berbagai macam pergulatan yang aku alami. Tidak semua
dapat aku ungkapkan dalam tulisan ini. Akan tetapi, bolehlah dikatakan semuanya
memberikan kepadaku perspektif baru: tentang hidup menggereja, tentang
menghadapi orang dengan berbagai macam karakter, tentang gambaran imamat, dan
lain sebagainya. Perspektif-perspektif itu tidak aku dapat di Seminari Tinggi
St. Paulus Kentungan atau di dalam diktat-diktat kuliah di kampus.
Harapanku, perspektif-perspektif
yang aku dapat di Brebes dapat menjadi modal pengalaman yang baik bagi
perjalananku menghayati imamat. Perjalanan menghayati imamat, ya, pokok ini
penting, karena menjadi imam bukanlah pencapaian suatu status, bukanlah menjadi
orang kaya baru, bukanlah menjadi seorang selebritis. Menjadi imam adalah perjalanan
menghayati imamat seumur hidup. Sama sekali salah perjalanan seorang
seminaris/frater berhenti ketika ia ditahbiskan. Tahbisan merupakan tanda bahwa
perjalanan menghayati imamat memasuki saat-saat yang semakin serius. Tahbisan
itu anugerah, bukan prestasi. Sebab jika berkenan, Tuhan pun dapat mencabut
nyawa seseorang sehari sebelum ia ditahbiskan.
Oleh karena itu, saat-saat ini
gambaranku akan imamat bukanlah suatu titik waktu ketika aku akan ditahbiskan,
melainkan suatu titik waktu ketika aku akan mati sebagai seorang imam. Di
belakang titik itu, membentang garis yang panjang, atau meminjam bahasa anak
muda sekarang, terbentang “timeline”
yang berisi bagaimana seumur hidup aku menghayati imamat.
Semoga aku dapat menjadi imam
yang baik. Sesederhana itu saja.
Akhirnya,
Selamat tinggal, tahun 2012.
Terima kasih untuk segala
pelajaran hidup tahun ini!