Waktu itu, aku masih kecil. Umurku lima tahun.
Sebagai anak kecil, aku memiliki beberapa ketakutan.
Pertama, aku takut mandi dengan air dingin. Dinginnya air di desaku waktu itu menjadi satu-satunya alasan. Aku bahkan bisa menggigil dan merinding hanya dengan terkena hawa dinginnya saja. Oleh karena itu, ibu selalu menyiapkan air hangat untuk aku mandi. Dengan air hangat, ketika mandi badanku tidak kedinginan.
Kedua, aku takut bila turun hujan dengan petir yang menyala dan menggelegar. Bledek, waktu itu, menjadi sesuatu yang sangat menakutkan. Suaranya seperti suara monster di angkasa yang siap melahap anak-anak kecil di bumi. Kalau tiba hujan dengan petir seperti itu, saya dan adik segera berlari ke arah ibu atau bapak. Di sana, ada kehangatan yang mengalirkan rasa aman.
Pernah suatu ketika, aku membandel. Ketika bermain-main di pinggir sawah belakang rumah, Bapak memberi peringatan supaya kami tidak masuk ke tengah sawah yang basah. Aku mengabaikan peringatan bapak. Dengan adik, kami menuju ke tengah, bermain lumpur, dan tertawa-tawa.
Tidak disangka bapak marah. Kami ditangkap dan dibawa ke rumah. Tepatnya, ke pinggir sumur. Badan kami yang kotor dengan lumpur kemudian digrujuk begitu saja dengan air dingin. Aku benar-benar tidak menyangka akan dihukum dengan cara demikian. Dihukum dengan sesuatu yang menakutkan. Yang bisa aku lakukan waktu itu hanya kelu. Diam ketakutan, dan menangis dalam diam itu, seraya air dingin mengalir dari ubun-ubun sampai ujung kaki kami. Ketika pertama kali air dingin itu kami rasakan, dada kami berdegup cepat. Kami megap-megap.
Kami menangis sambil megap-megap. Kami tidak mengerti. Ibu yang biasanya menyediakan air hangat supaya kami tidak kedinginan, ketika itu justru membuat kami kedinginan. Ibu yang biasanya menjadi tujuan kami mencari kehangatan, ketika itu tidak ada. Kami kehilangan tujuan kami berlari-lari ketika ketakutan.
Bertahun-tahun, di bawah sadar kusimpan pengalaman itu. Pengalaman yang mengerikan, dihukum dengan sesuatu yang paling ditakutkan oleh seorang anak kecil. Di memori ini, masih hidup gambaran saat-saat aku dan adik membandel, saat-saat bapak menangkap dan membawa kami ke pinggir sumur, saat-saat ibu menggrujuk kami yang takut setengah mati dengan air dingin, dan saat-saat kami menangis megap-megap.
Bertahun-tahun setelah peristiwa itu pula, aku menemukan keping yang hilang dari kisah itu. Keping itu adalah kisah mengenai ibu yang tidak kuasa hatinya melihat kami kedinginan. Ibu memang menghukum, menyiramkan air dingin ke ubun-ubun kami berdua. Akan tetapi, dasar keibuannya seketika muncul ketika kami sesenggukan menangis sambil megap-megap. Tanpa kami tahu, ibu menangis, tidak tega. Barangkali, ibu berpikir bagaimana ia bisa sampai hati membuat anak-anaknya berada dalam keadaan yang menyedihkan itu.
Setelah peristiwa itu, ibu tidak pernah menghukum lagi. Saat itu adalah terakhir kali aku kehilangan ibu, sosok yang menjadi tujuanku berlari ketika ketakutan. Bahkan, ketika berada dalam jarak yang sangat jauh seperti ini, aku masih begitu mudah lari kepadanya ketika aku terpuruk.
Ah, Tuhan, betapa aku mencintai dia.
22 Desember 2011
No comments:
Post a Comment