22 December 2011

Ibu

Waktu itu, aku masih kecil. Umurku lima tahun.

Sebagai anak kecil, aku memiliki beberapa ketakutan.

Pertama, aku takut mandi dengan air dingin. Dinginnya air di desaku waktu itu menjadi satu-satunya alasan. Aku bahkan bisa menggigil dan merinding hanya dengan terkena hawa dinginnya saja. Oleh karena itu, ibu selalu menyiapkan air hangat untuk aku mandi. Dengan air hangat, ketika mandi badanku tidak kedinginan.

Kedua, aku takut bila turun hujan dengan petir yang menyala dan menggelegar. Bledek, waktu itu, menjadi sesuatu yang sangat menakutkan. Suaranya seperti suara monster di angkasa yang siap melahap anak-anak kecil di bumi. Kalau tiba hujan dengan petir seperti itu, saya dan adik segera berlari ke arah ibu atau bapak. Di sana, ada kehangatan yang mengalirkan rasa aman.

Pernah suatu ketika, aku membandel. Ketika bermain-main di pinggir sawah belakang rumah, Bapak memberi peringatan supaya kami tidak masuk ke tengah sawah yang basah. Aku mengabaikan peringatan bapak. Dengan adik, kami menuju ke tengah, bermain lumpur, dan tertawa-tawa.

Tidak disangka bapak marah. Kami ditangkap dan dibawa ke rumah. Tepatnya, ke pinggir sumur. Badan kami yang kotor dengan lumpur kemudian digrujuk begitu saja dengan air dingin. Aku benar-benar tidak menyangka akan dihukum dengan cara demikian. Dihukum dengan sesuatu yang menakutkan. Yang bisa aku lakukan waktu itu hanya kelu. Diam ketakutan, dan menangis dalam diam itu, seraya air dingin mengalir dari ubun-ubun sampai ujung kaki kami. Ketika pertama kali air dingin itu kami rasakan, dada kami berdegup cepat. Kami megap-megap.

Kami menangis sambil megap-megap. Kami tidak mengerti. Ibu yang biasanya menyediakan air hangat supaya kami tidak kedinginan, ketika itu justru membuat kami kedinginan. Ibu yang biasanya menjadi tujuan kami mencari kehangatan, ketika itu tidak ada. Kami kehilangan tujuan kami berlari-lari ketika ketakutan.

Bertahun-tahun, di bawah sadar kusimpan pengalaman itu. Pengalaman yang mengerikan, dihukum dengan sesuatu yang paling ditakutkan oleh seorang anak kecil. Di memori ini, masih hidup gambaran saat-saat aku dan adik membandel, saat-saat bapak menangkap dan membawa kami ke pinggir sumur, saat-saat ibu menggrujuk kami yang takut setengah mati dengan air dingin, dan saat-saat kami menangis megap-megap.

Bertahun-tahun setelah peristiwa itu pula, aku menemukan keping yang hilang dari kisah itu. Keping itu adalah kisah mengenai ibu yang tidak kuasa hatinya melihat kami kedinginan. Ibu memang menghukum, menyiramkan air dingin ke ubun-ubun kami berdua. Akan tetapi, dasar keibuannya seketika muncul ketika kami sesenggukan menangis sambil megap-megap. Tanpa kami tahu, ibu menangis, tidak tega. Barangkali, ibu berpikir bagaimana ia bisa sampai hati membuat anak-anaknya berada dalam keadaan yang menyedihkan itu.

Setelah peristiwa itu, ibu tidak pernah menghukum lagi. Saat itu adalah terakhir kali aku kehilangan ibu, sosok yang menjadi tujuanku berlari ketika ketakutan. Bahkan, ketika berada dalam jarak yang sangat jauh seperti ini, aku masih begitu mudah lari kepadanya ketika aku terpuruk.

Ah, Tuhan, betapa aku mencintai dia.

22 Desember 2011

14 December 2011

Menjadi Murid yang Setia

Masa Lalu : Murid yang Lambat Suatu kali kutemukan bunga di tepi jalan Siapa yang menanamnya, tak seorangpun mengira Bunga di tepi jalan, alangkah indahnya Oh kasihan, kan kupetik sebelum layu Di sekitar belukar dan rumput gersang Seorangpun takkan mau memperhatikan Biarlah kan kuambil, menghias rumahku Oh kasihan, kan kupetik sebelum layu ( Bunga di Tepi Jalan, Koes Plus ) Lagu di atas kiranya dapat menjadi analogi yang menggambarkan kehidupan masa lalu saya. Seharusnya saya telah mati (layu) terinjak orang lewat atau tercekik belukar dan rumput gersang. Namun, entah mengapa, Seseorang telah berbelas kasih mengangkat harkat kehidupan saya, lalu memindahkan saya ke habitat terbaik. Sebelum dibabtis kelas lima SD, saya adalah seorang santri, murid yang magel belajar mengaji. Ketika guru mengaji saya waktu itu berhenti mengajar sehubungan dengan kehamilannya, saya mengalami keadaan quo vadis (kebingungan tak tentu arah tujuan). Saat itulah, Tuhan bertindak, memungut, dan memilih saya sebagai murid-Nya. Sebagai seorang santri, kebiasaan saya sangat sederhana, yaitu menghafal. Mungkinkah kebiasaan saya tersebut yang kemudian membentuk saya menjadi seorang murid Tuhan yang lambat? Saya merasa tidak cukup berusaha (atau sekurang-kurangnya kurang/belum) menjadi seorang murid yang cerdas. Kepekaan pemahaman saya kurang terasah karena hanya terbiasa menirukan bunyi-bunyi tanpa harus memahaminya. Sama seperti seekor domba yang jauh dan terpisah dari Gembalanya, saya hanya mendengar suara-Nya yang sayup-sayup. Karenanya, saya menjadi murid yang kurang mendengar dengan baik atau lambat belajar. Ketika belajar di Seminari Menengah Mertoyudan empat tahun berikutnya, saya mengalami bahwa saya tidak bisa seiring dan sejalan bersama teman-teman yang dengan penuh greget mendalami panggilan mereka untuk menjadi imam. Pada saat yang sama, saya masih berkutat, berusaha mencari jati diri dan hakikat saya sebagai murid-Nya yang masih hijau dan mentah. Ini tidak mengada-ada. Pernah suatu kali ketika saya mendapat giliran memimpin doa sebelum makan di refter di Medan Pratama, saya tidak bisa menyelesaikan separuh bagian awal doa Bapa Kami. Ketika mulai dapat menemukan dan mendengar suara Tuhan yang memanggil, saya merasa telah jauh tertinggal (atau ditinggalkan?) oleh teman-teman yang mungkin tidak sabar lagi dan telah berada jauh di depan mendahului saya. Saya sungguh merasa sendirian dengan kepribadian yang belum stabil, tanpa atau dengan hanya sedikit dukungan teman-teman dan keluarga yang belum benar-benar katolik (semua anggota keluarga saya : bapak, ibu, kakak dan adik-adik dibabtis dewasa serentak bersama-sama saya). Namun, saya mencoba untuk bertahan dan tidak berputus harapan. Mungkin saya memang kurang berhasil mengolah atau mematangkan panggilan saya untuk menjadi imam. Namun, di seminari saya telah belajar bagaimana menjadi seorang murid Tuhan, menjadi pribadi katolik, yaitu melalui perjumpaan saya dengan teman-teman, para rama pembimbing yang tulus, suster yang penuh perhatian merawat saya di valet ketika sakit, serta guru-guru yang juga sangat katolik walaupun beberapa di antaranya tidak beragama katolik. Saya berterimakasih dan bersyukur karena Tuhan telah mengirimkan mereka semua untuk membentuk saya menjadi seorang katolik, menjadi murid-Nya, walaupun tidak sempurna. Ketika Tuhan memanggil saya untuk kedua kalinya, ternyata (baru tersadar setelah dua puluh sekian tahun setelah perjumpaan saya dengan almarhum rama Agus Pramono) tanpa saya sadari, saya telah mencuekkan-Nya. Saya, memang, melamar, mendaftar untuk menjadi seorang imam Jesuit di Girisonta. Sayang, lamaran saya itu tidak serta-merta diterima (menurut logika saya ketika itu, lamaran saya ditolak secara halus). Saya diminta untuk memikirkan panggilan saya untuk menjadi imam di luar dan datang lagi setahun kemudian. Namun, saya tidak pernah kembali ke sana! Betapa naifnya. Padahal mungkin Tuhan menunggu saya kembali. Saya telah membiarkan-Nya menunggu. Terkadang sekarang saya menyesal, tapi dulu saya tidak merasakannya karena saya merasa Tuhan telah meminta saya mengambil jalan lain. Meskipun ada perasaan kecewa, malu, dan sedih karena ditolak, saya berniat untuk tidak berhenti menjadi katolik. Selama empat tahun terakhir, Tuhan telah mengasihi saya lebih dari semuanya, mendampingi saya dalam pencarian jati diri saya, memberikan pencerahan dan mengangkat harkat kehidupan saya karena telah menjadi murid-Nya. Sekarang saatnya, giliran saya bertindak, yaitu membalas kasih-Nya, bukan hanya berpangku tangan saja. Saya pun berganti haluan, menjalani kehidupan awam; menjadi seorang guru seperti Tuhan Yesus sendiri; menjadi seorang bapak, panutan bagi anak-anak saya; menjadi suami, pendamping setia bagi istri saya; serta menjadi prodiakon dan pewarta sabda yang melayani umat stasi saya. Pendek kata, saya berusaha menjadi alat yang berguna bagi Tuhan dalam mengisi sisa-sisa waktu hidup yang Dia berikan. Masa Kini : Murid yang Mendengar Bila dibandingkan dengan saya, kehidupan rohani frater Vigo pada masa kanak-kanak sudah pasti jauh lebih kaya. Dia dibabtis sejak bayi dan memiliki orang tua dan kakek-nenek yang membesarkannya secara katolik. Meskipun demikian, menurut saya, dia kurang begitu religius juga untuk ukuran seorang seminaris pada umumnya. Hal ini disebabkan oleh situasi dan kondisi lingkungan tempat frater Vigo tinggal, yaitu sebuah stasi yang sangat jauh dari paroki di Purwokerto dengan jumlah umat katolik pada saat itu kurang dari seratus orang. Kegiatan gerejani sangat terbatas, misalnya misa hanya dua kali sebulan. Itu pun bukan di kapel atau gereja, melainkan di rumah ketua stasi atau bergiliran, sehingga sangat mungkin kekhusukan dalam berdoa berkurang. Ibadat sabda sebagai kegiatan mingguan yang lain kurang diminati umat (yang datang sangat sedikit dan hanya orang yang itu-itu saja). Sekolah Minggu juga ala kadarnya, tanpa guru, hanya oleh tokoh umat secara voluntir. Persekutuan doa dan pendalaman iman dilaksanakan hanya pada masa prapaskah dan adven dengan peserta yang minim karena kendala transportasi yang sulit (stasi kami meliputi lima kecamatan yang lebih luas dari wilayah paroki induknya). Doa keluarga, harus diakui, kurang teratur dan terjaga karena satu dan lain hal, serta tidak terbiasa. Kondisi tersebut tentu berpengaruh terhadap perkembangan rohani anak-anak, termasuk frater Vigo. Karena itu, ketika anak pertama saya itu meminta izin untuk masuk ke Seminari Menengah Mertoyudan, hati saya tersentak. Saya merasa Tuhan memanggil saya lagi. Dia seperti tidak pernah berhenti. Tuhan tidak memanggil saya untuk menyerahkan hidup saya, tetapi Dia meminta bahkan yang lebih berharga dari itu, yakni menyerahkan anak lelaki pertama saya bagi-Nya. Rasanya seperti kisah yang dialami oleh Abraham yang diuji oleh Allah untuk mengorbankan anaknya. Dan saya sama sekali tidak mirip Abraham. Saya tidak serta-merta mengatakan ya. Saya mempertanyakan panggilan-Nya. Saya ingin mengatakan ‘leave me alone’, kenapa saya? Kenapa anak saya? Entahlah, saya tidak ingat berapa waktu yang saya perlukan sampai pada akhirnya saya bisa berdamai dengan diri saya sendiri dan Tuhan. Saya tidak bisa mengelak atau berpaling atau pura-pura tidak mendengar suara Allah yang terus memanggil. Siapa yang bisa, kalau Tuhan telah mencengkeram Anda? Dia tidak berhenti memanggil saya, bukan sekali, dua kali, tetapi berkali-kali sampai saya mulai memahami dan menjawab, “ Berbicaralah, sebab hamba-Mu ini mendengar “. Saya menyerah. Saya ingin menjadi murid yang mendengar dan memahami rencana-Nya. Akhirnya, saya merelakan anak saya dan mengantarkannya sendiri ke Mertoyudan dengan motor butut saya. Di kapel depan seminari, sebelum saya meninggalkannya, saya menghibur diri dengan memberi nasihat pada anak saya yang kelihatan masih sangat muda, lugu, dan polos. Saya seperti melihat diri saya sendiri, seorang anak yang dulu ingin mencari sesuatu yang belum dia mengerti, seorang anak yang tidak tahu apa yang sedang dan akan dilakukannya. Tuhan, tolonglah anak ini menemukan dirinya, doa saya. Mungkin frater Vigo masih ingat apa yang saya nasihatkan. Saya memperkenalkan padanya seorang tokoh pewayangan, yaitu Wisanggeni. Dia terdiam saja, mungkin karena dia tidak mengenal tokoh wayang atau mungkin tidak memahami apa yang saya nasihatkan. Begini kira-kira nasihat saya: “ Kamu ini ibarat ksatria keluarga Pandawa bernama Wisanggeni, yang sebelum melaksanakan dharmanya sebagai ksatria, digodhog di kawah Candradimuka. Memang di seminari ini, di kawah Candradimuka, akan kamu alami hal-hal yang berat dan susah, namun itu akan membuatmu kuat (vigorous).” Seiring bergulirnya waktu, kami, ibunya frater Vigo dan saya, mulai melihat kesungguhannya. Kami pun berusaha memperlihatkan dukungan dengan sering mengunjunginya pada waktu-waktu tertentu dan mendoakannya setiap waktu. Biarlah terjadi apapun yang Tuhan kehendaki. Kami pun menjadi tidak pernah khawatir lagi seperti pada awalnya. Saya yakin anak saya berada di tempat yang seharusnya, di tanah yang subur. Itu bisa dilihat dari perkembangan kepribadiannya ketika sesekali pulang ke rumah : periang, easy going, dan tidak banyak menuntut. Fisiknya juga semakin berkembang alias melar sampai ibunya mulai khawatir dan memintanya untuk mengatur dietnya dan banyak berolahraga. Mengherankan, sampai hari inipun frater Vigo tidak pernah berkeluh-kesah atau bermasalah dengan panggilannya, bahkan yang sering dia share justru permasalahan teman-temannya yang mulai berguguran satu per satu. Apakah saya tahu apakah trigger yang memicunya untuk masuk ke seminari? Terus terang tidak, karena saya tidak pernah menanyakannya. Saya pernah menanyakan hal yang serupa kepada beberapa teman seminarisnya dan mendapat jawaban yang normatif, misalnya ingin bekerja di ladang Tuhan, atau ingin melanjutkan misi Tuhan Yesus di dunia, atau mewartakan kabar baik kepada semua orang, atau semacam itu. Saya tidak mengharapkan jawaban seperti itu. Jadi nanti sajalah, saya berniat menanyakannya bila sudah tiba saatnya. Namun saya mempunyai beberapa hipotesis perihal motivasi tersebut di atas, yang tentu saja bisa salah karena hanya frater Vigo dan Tuhan saja yang tahu apa yang telah mendorongnya menjawab panggilan-Nya untuk menjadi seorang imam. Pertama, saya sering bercerita tentang betapa ‘serunya’ pengalaman hidup saya di seminari, dari yang menyenangkan sampai yang pahit getir bersama dengan rama-rama pembimbing karena kenakalan atau keisengan saya dan teman-teman. Misalnya, menyimpan puluhan buah kelapa di bawah podium kelas sehingga podiumnya bergerak-gerak ketika seorang guru berada di atasnya; atau membakar ikan pada saat belajar malam di dalam kelas di samping kamar rama Putranto sehingga baunya menyebar ke seluruh medan madya; atau menumpuk kaleng-kaleng kosong di belakang pintu dormitorium sehingga ditabrak rama Bambang ketika inspeksi malam-malam; atau dimarahi setelah berdangdut-ria di auditorium pada perayaan pesta emas suster Antalgin dan kejadian aneh-aneh lainnya khas Seminari Mertoyudan. Kalau itu dihimpun dan dibukukan, mungkin bisa menjadi buku yang cukup laris. Mungkin saja, siapa tahu, frater Vigo tertarik untuk mengalami kekonyolan-kekonyolan semacam itu. Kedua, kondisi hidup di stasi yang serba terbatas seperti yang saya ungkapan sebelumnya barangkali memicu frater Vigo untuk mencari atau menemukan sesuatu yang lebih baik (semoga bukan untuk melarikan diri dari hal itu), misalnya kebiasaan doa yang lebih intens dan teratur, menu makanan yang lebih baik, atau mungkin bosan dengan bapaknya yang memberi kesan menakutkan karena sering dipakai untuk menakut-nakuti anak-anak seperti halnya anjing herder : awas bapak datang tuh atau awas lho nanti tak laporkan ke bapak atau awas nanti dimarahi bapak, dsb. Ketiga, mungkin frater Vigo, entah bagaimana caranya, pernah mendengar kisah versi ibunya bahwa ia terlahir setelah penantian yang sangat lama. Menurut pengakuan ibunya, pada suatu acara retret di Hening Griya Baturaden, dia memohon secara khusuk agar Tuhan segera memberinya momongan. Saat itu, dia berjanji akan menyerahkannya kepada Tuhan bila Dia menghendaki (mirip dengan kisah Samuel, ya?). Dan ternyata doanya dikabulkan. Dan janji itu menjadi semakin kuat ketika frater Vigo dua kali lolos dari maut yang hampir saja merenggut nyawanya, yaitu keracunan susu ketika masih balita dan tertabrak sepeda motor di ulu hatinya sehingga selama beberapa waktu tidak bisa bernafas dan harus dibawa ke UGD di RS. Margono, Purwokerto. Dan hipotesis-hipotesis saya tersebut kiranya tidak begitu penting lagi sekarang, karena saya percaya Tuhan berkarya dengan cara-Nya sendiri yang unik. Masa Depan : Murid yang Setia Ada tiga hikmah yang perlu diambil dari kegagalan saya dan harus menjadi pelajaran yang berharga demi keberhasilan frater Vigo dalam menanggapi panggilan Tuhan untuk menjadi imam. Kita harus mau belajar dari pengalaman karena pengalaman adalah guru yang terbaik. Jangan sampai kita jatuh ke lubang yang sama. Saya yakin bahwa kita tidak sebebal itu. 1. Saya sangat kurang tekun berdoa sehingga tidak memiliki kedekatan dengan Tuhan yang memanggil saya dan tidak mendengar suara-Nya dengan sempurna sehingga saya kurang menangkap atau memahami apa yang Tuhan kehendaki atas diri saya. Saya berharap bahwa anak saya tidak melakukan kesalahan seperti saya. 2. Saya tercerabut dari panggilan saya karena saya terlalu sibuk dengan diri sendiri. Saya kurang mau bergaul, berteman, atau hidup bersama dengan teman-teman (berkomunitas) dalam berbagi rasa mengolah panggilan. Ibarat domba, saya terpisah dari kawanan dan hilang. Untunglah Tuhan masih setia pada pekerjaan-Nya, yaitu mencari domba-domba yang hilang dan tersesat. Saya sungguh berharap frater Vigo mau belajar dari pengalaman kegagalan bapaknya. 3. Ibarat sebuah rumah, saya cepat roboh karena dibangun di atas pasir yang rapuh, bukan di atas pondasi batu yang kokoh, yaitu dukungan keluarga. Menurut saya, situasi frater Vigo sekarang jauh lebih baik dari ketika saya menerima panggilan: sendirian hampir tanpa dukungan keluarga. Sekarang kami sekeluarga, bapak, ibu, dan adik-adik, juga kakek-nenek dan sejumlah umat stasi Bumiayu, sangat peduli dan berdiri di belakang frater Vigo, memberikan dukungan berupa doa, penghiburan, tempat mengeluh, kelegaan, kecukupan, kebebasan, atau apapun bila diperlukan. Akhirnya, saya telah mengalami bahwa kasih Allah sungguh besar. Dia telah mengangkat saya menjadi murid-Nya. Dia membawa saya ke tempat yang nyaman. Dia selalu memanggil saya walaupun saya sering lalai mendengar-Nya. Karena itu, tidak ada satu balasan yang lebih setimpal atas kebaikan-Nya selain menjadi murid yang setia. Kami sekeluarga sungguh ingin menjadi murid-murid yang setia pada panggilan kami masing-masing, sesuai kehendak-Nya. - Emanuel Judi Marsana-

Kedatangan Bapak yang Tidak Terduga

Aku bahagia hari ini karena kedatangan bapak secara tidak diduga-duga jam setengah sebelas siang tadi. Ia baru bisa aku jumpai jam setengah dua belas. Artinya, bapak menunggu satu jam sebelum bertemu denganku. Rupanya, ia baru datang dari Solo. Ia tidak membawa kendaraan (mungkin, karena itu ia rela menunggu lama. Suwe, ning wis kadung niliki. Ora bisa ditinggal lunga, hehhe….

Setelah aku berganti pakaian dan meminjam motor, aku berbincang-bincang dengan bapak di ruang tamu frater di depan. Rasanya membahagiakan bersama bapak. Ia bercerita mengenai sekolahnya, pekerjaannya, dan sekolah Ito. Semua ceritanya membuat aku bangga terhadap dirinya.

Bapak mengajak aku makan di luar. Mengenai tempat, terserah aku saja. Di dalam batinku, aku membayangkan Bapak pasti senang jika aku ajak makan di warung makan Flamboyan, di Deresan. Tetapi, ketika melewati ring road, Bapak mengingatkan aku akan toko buku murah (baca: Toga Mas) yang aku ceritakan padanya. Aku bilang, kita akan melewatinya. Apakah akan mampir dahulu? Bapak menyetujuinya, dan jadilah kami bersama-sama ke toko buku Toga Mas.

Di Toga Mas, bapak tanpa ba-bi-bu langsung menuju ke daerah buku anak-anak. Katanya, ia sedang mencari beberapa buku yang bisa mendukung lengkapnya perpustakaan sekolah minggu yang akan segera didirikan. Batinku, betapa hebatnya bapak. Datang ke toko buku ini sama sekali tidak memikirkan tentang dirinya (padahal aku tahu bapak suka buku, dan pasti tergiur melihat buku sebanyak itu). Bapak justru langsung memikirkan tentang pelayanan gerejawinya.

Kalau tidak salah, bapak membeli 15 buku. Aku senang bisa mengantarkannya ke toko buku yang cukup lengkap dan lumayan terjangkau itu. Dari Toga Mas, barulah kami ke warung makan Flamboyan untuk bersantap siang. Di sana, suasana ramai sekali. Tidak cuma sekali aku melihat perempuan-perempuan yang cantik dan seksi bersliweran kian kemari. Tuhan, tolonglah aku, hehhee…. Bapak juga suka tempat itu. Katanya, lumayan murah dibandingkan menu-menu makan yang disajikan di hotel Lor In, Surakarta. Ia juga mengomentari soal masakan Jogja yang manis, tidak seperti masakan daerah Bumiayu yang asin.

Dari Flamboyan, kami ke jalan Solo untuk mencari oleh-oleh. Bapak ingin membawa keripik cakar ayam. Tetapi, sampai di tempat kami membeli oleh-oleh, rupanya harga keripik itu sangatlah mahal. Bapak lalu tidak jadi membelinya.
Kami pulang ke seminari kemudian, mengambil tas bapak, dan pergi ke stasiun Lempuyangan. Di sana, aku meninggalkan bapak yang akan menuju kota Purwokerto. Terima kasih, bapak, atas kunjungan singkatmu. Kunjungan itu berkesan dan berharga buatku. Betapa aku menyayangimu dan membanggakanmu.