23 February 2018

Hello, 2018.

I’m back2017 is a fucking nightmare.

Tahun itu, perjalanan panjang saya sebagai calon romo berhenti. Saya mengundurkan diri karena memang keuskupan tidak menghendaki saya menjadi imamnya. Keuskupan bisa berdalih saya bisa menjadi calon imamnya lagi setelah beberapa waktu menjalani hidup sebagai awam. Tetapi, saya juga bisa bertanya hal yang sama yang kerap ditanyakan para petinggi keuskupan waktu itu: “Mau sampai kapan?”

Lebih dari itu, saya merasa peristiwa itu sudah menyerempet soal harga diri. Bayangkan saja, empat belas tahun yang lalu saya melamar keuskupan agar menerima saya berproses menjadi imam, empat belas tahun kemudian keuskupan yang saya lamar dan sudah saya pacari itu menghendaki saya mencari jodoh lain. Apa pun latar belakangnya, hal itu merupakan keputusan yang membuat saya berpikir, “Bajingan, tahu seperti ini yang terjadi di ujung jalan, saya tidak akan pernah menyerahkan diri pada proses pendidikan calon imam.

Itulah yang terjadi. Kalau mau dirohani-rohanikan, hal itu saya rasa memang sudah jalan yang Tuhan tunjukkan. Masih bisa didebat juga sebenarnya yang “dirohani-rohanikan” itu benar atau tidak, mengingat yang saya sebut jalan Tuhan itu bisa juga disebut jalan pembesar keuskupan. Nah, apakah jalan pembesar keuskupan itu selalu merupakan jalan Tuhan? Yang Tuhan katakan seingat saya "Akulah Jalan, Kebenaran, dan Kehidupan". Yang dijamin kebenarannya hanya itu, hehe.

Tahun itu juga, bapak saya dipanggil oleh Tuhan.

Tidak pernah terbayangkan bahwa bapak akan meninggalkan kami secepat ini. Beberapa minggu sebelum bapak meninggal, bapak memang mengeluh sakit. Beliau kelihatan semakin ringkih. Tetapi, siapa yang menyangka Tuhan akan memanggilnya secepat ini?

Sehari sebelum bapak meninggal, bapak berangkat ke sekolah untuk yang terakhir kali. Saya saksinya. Pagi itu, setelah mengantarkan ibu ke sekolah, saya melihat bapak mengenakan seragam PNS-nya. Oh, bapak menunggu saya pulang sebelum berangkat ke sekolah, pikir saya. Tidak seperti biasanya, pagi itu bapak berpakaian rapi sekali. Saya bertanya kepada bapak, “Lho, bapak mau berangkat ke sekolah, to?” Saya bertanya karena tahu persis bapak masih sakit. Ketika berjalan ke luar rumah saja bapak masih sempat berbicara kepada saya, “Jane iki bapak sikile pegel-pegel rasane, tapi bapak wis suwe ra mangkat. Ra kepenak.”

Sampai depan rumah, sebelum bapak berangkat, saya sempat berkata lagi kepada bapak, “Bapak, ternyata bener ya. Numpak motor lanang ki luwih penak. Ora kesel. Bar numpak Verza, terus numpak Vega kok rasane cilik nemen.” Mendengar itu, bapak tidak berkomentar apa-apa selain tersenyum. Senyumnya indah, jarang saya lihat bapak tersenyum seperti itu. Terus terang saya tidak ingin melebih-lebihkan, tetapi senyum bapak pagi itu memang begitu berarti. Orang yang mengenal bapak pasti tahu bahwa senyum bapak mahal harganya. Cari saja foto bapak yang menunjukkan bapak sedang tersenyum. Pasti sulit.

Saya sama sekali tidak tahu bahwa pagi itu, bapak memberikan senyum terakhir kepada anak lanang-nya ini. Senyumnya yang mahal, tulus, dan terbaik, muncul kendati pikiran dan hatinya mungkin masih tidak menentu bagaimana nasib anak lanang ini setelah mundur sebagai calon imam. 

Bapak telah dipanggil Tuhan. Semoga beristirahat dalam damai. Hidup akan kami perjuangkan semampu kami, Bapak. Semoga kekuatiran-kekuatiran di masa-masa terakhir hidupmu kini berubah menjadi doa bagi kami dari Surga sana.

Akhir Januari 2018, saya pindah domisili ke Jakarta. Saya diterima bekerja di penerbit Gramedia Pustaka Utama. Saya tentu bersyukur karena bisa diterima bekerja di tempat yang konon berisi oleh orang-orang pandai itu. Tetapi, saya juga gundah gulana karena harus meninggalkan ibu sendirian di rumah. 

Pada akhirnya, kita harus berhadapan dengan momen iman, bukan? Musa menghadapi momen itu ketika terjepit di pinggir laut. Di depan laut, di belakang pasukan tentara Mesir. Abraham menjumpai momen itu saat diminta membakar Ishak sebagai bagian dari ritual agama. Di satu sisi, Abraham sangat taat kepada Tuhan. Di sisi lain, “that’s my fucking son!” Momen iman itu tiba juga untuk saya, yakni saat saya menyerahkan “ibu yang jadi sendirian di rumah” kepada Tuhan untuk dilindungi. Semoga Tuhan senantiasa melindungi ibu.

Akhir kata, semoga tahun 2018 bisa menjadi tahun yang baik. Cukuplah satu “2017” dalam hidup yang saya mulai dari nol lagi ini. Oh ya, yang terakhir saya ingin mengutip kutipan terkenal berikut: “Hard times will always reveal true friends.” Ada “teman” yang saya kira seorang sahabat diam-diam saja selama saya menjalani masa transisi ini. Ada pula yang membantu secara tulus, seperti “Russian guy” from BSD, Pam-Pam. Dia membantu banyak ketika saya datang ke Jakarta. Thanks, Pam!

See you later!

1 comment:

  1. Aku baru baca post Mas Vigo yang ini, beberapa waktu yang lalu sempet bertanya tanya soal mas vigo berhenti menjadi calon imam atau apa gitu sebutannya, aku kurang paham :). Tapi cuma tak batin aja hehehe.. dan sekarang udah tahu alasannya :). Dan baru tahu juga mas Vigo sekarang kerja di Gramedia wkwkwk, biasane nek liat IG Mas vigo cuma mbatin, kerja dimana sih, kok sekarang udah ngga di jakarta aja :))


    Kepengen komentar soal Pak Yudi, kok aku merasa Pak Yudi, yang aku kenal sebagai guru les di Lestari adalah orang yang murah senyum ya :) hehe.. karena setiap ngajar perasaan selalu senyum dan sabar :). Semoga Pak Yudi Beristirahat dalam damai.

    Semangat Terus Mas Vigoo !!! :)


    Rani Amiaty, Adik Kelas SMP :)

    ReplyDelete