Tahun itu, perjalanan panjang saya sebagai calon romo
berhenti. Saya mengundurkan diri karena memang keuskupan tidak menghendaki saya
menjadi imamnya. Keuskupan bisa berdalih saya bisa menjadi calon imamnya lagi
setelah beberapa waktu menjalani hidup sebagai awam. Tetapi, saya juga bisa bertanya
hal yang sama yang kerap ditanyakan para petinggi keuskupan waktu itu: “Mau sampai kapan?”
Lebih dari itu, saya merasa peristiwa itu sudah menyerempet soal
harga diri. Bayangkan saja, empat belas tahun yang lalu saya melamar keuskupan
agar menerima saya berproses menjadi imam, empat belas tahun kemudian keuskupan
yang saya lamar dan sudah saya pacari itu menghendaki saya mencari jodoh lain. Apa pun
latar belakangnya, hal itu merupakan keputusan yang membuat saya berpikir, “Bajingan, tahu seperti ini yang terjadi di
ujung jalan, saya tidak akan pernah menyerahkan diri pada proses pendidikan
calon imam.”
Itulah yang terjadi. Kalau mau dirohani-rohanikan, hal itu
saya rasa memang sudah jalan yang Tuhan tunjukkan. Masih bisa didebat juga
sebenarnya yang “dirohani-rohanikan” itu benar atau tidak, mengingat yang saya
sebut jalan Tuhan itu bisa juga disebut jalan pembesar keuskupan. Nah, apakah
jalan pembesar keuskupan itu selalu merupakan jalan Tuhan? Yang Tuhan katakan
seingat saya "Akulah Jalan, Kebenaran, dan Kehidupan". Yang dijamin kebenarannya hanya itu,
hehe.
Tahun itu juga, bapak saya dipanggil oleh Tuhan.
Tidak pernah terbayangkan bahwa bapak akan meninggalkan kami
secepat ini. Beberapa minggu sebelum bapak meninggal, bapak memang mengeluh
sakit. Beliau kelihatan semakin ringkih. Tetapi, siapa yang menyangka Tuhan
akan memanggilnya secepat ini?
Sehari sebelum bapak meninggal, bapak berangkat ke sekolah
untuk yang terakhir kali. Saya saksinya. Pagi itu, setelah mengantarkan ibu ke sekolah, saya melihat bapak mengenakan seragam PNS-nya. Oh, bapak menunggu saya pulang sebelum berangkat ke sekolah, pikir saya. Tidak seperti
biasanya, pagi itu bapak berpakaian rapi sekali. Saya bertanya kepada bapak, “Lho, bapak mau berangkat ke sekolah, to?” Saya
bertanya karena tahu persis bapak masih sakit. Ketika berjalan ke luar rumah
saja bapak masih sempat berbicara kepada saya, “Jane iki bapak sikile
pegel-pegel rasane, tapi bapak wis suwe ra mangkat. Ra kepenak.”
Sampai depan rumah,
sebelum bapak berangkat, saya sempat berkata lagi kepada bapak, “Bapak,
ternyata bener ya. Numpak motor lanang ki luwih penak. Ora kesel. Bar numpak
Verza, terus numpak Vega kok rasane cilik nemen.” Mendengar itu, bapak tidak
berkomentar apa-apa selain tersenyum. Senyumnya indah, jarang saya lihat bapak tersenyum seperti itu. Terus terang saya tidak ingin melebih-lebihkan, tetapi senyum bapak pagi
itu memang begitu berarti. Orang yang mengenal bapak pasti tahu bahwa senyum
bapak mahal harganya. Cari saja foto bapak yang menunjukkan bapak sedang
tersenyum. Pasti sulit.
Saya sama sekali tidak tahu bahwa pagi itu, bapak memberikan senyum terakhir kepada anak lanang-nya ini. Senyumnya yang mahal, tulus, dan terbaik, muncul kendati pikiran dan hatinya mungkin masih tidak menentu bagaimana nasib anak lanang ini setelah mundur sebagai calon imam.
Saya sama sekali tidak tahu bahwa pagi itu, bapak memberikan senyum terakhir kepada anak lanang-nya ini. Senyumnya yang mahal, tulus, dan terbaik, muncul kendati pikiran dan hatinya mungkin masih tidak menentu bagaimana nasib anak lanang ini setelah mundur sebagai calon imam.
Bapak telah dipanggil Tuhan. Semoga beristirahat dalam
damai. Hidup akan kami perjuangkan semampu kami, Bapak. Semoga
kekuatiran-kekuatiran di masa-masa terakhir hidupmu kini berubah menjadi doa
bagi kami dari Surga sana.
Akhir Januari 2018, saya pindah domisili ke Jakarta. Saya
diterima bekerja di penerbit Gramedia Pustaka Utama. Saya tentu bersyukur
karena bisa diterima bekerja di tempat yang konon berisi oleh orang-orang
pandai itu. Tetapi, saya juga gundah gulana karena harus meninggalkan ibu
sendirian di rumah.
Pada akhirnya, kita harus berhadapan dengan momen iman,
bukan? Musa menghadapi momen itu ketika terjepit di pinggir laut. Di depan
laut, di belakang pasukan tentara Mesir. Abraham menjumpai momen itu saat
diminta membakar Ishak sebagai bagian dari ritual agama. Di satu sisi, Abraham
sangat taat kepada Tuhan. Di sisi lain, “that’s
my fucking son!” Momen iman itu tiba juga untuk saya, yakni saat saya
menyerahkan “ibu yang jadi sendirian di rumah” kepada Tuhan untuk
dilindungi. Semoga Tuhan senantiasa melindungi ibu.
Akhir kata, semoga tahun 2018 bisa menjadi tahun yang baik.
Cukuplah satu “2017” dalam hidup yang saya mulai dari nol lagi ini. Oh ya, yang
terakhir saya ingin mengutip kutipan terkenal berikut: “Hard times will always
reveal true friends.” Ada “teman” yang saya kira seorang sahabat diam-diam saja
selama saya menjalani masa transisi ini. Ada pula yang membantu secara tulus,
seperti “Russian guy” from BSD, Pam-Pam. Dia membantu banyak ketika saya datang
ke Jakarta. Thanks, Pam!
See you later!
Aku baru baca post Mas Vigo yang ini, beberapa waktu yang lalu sempet bertanya tanya soal mas vigo berhenti menjadi calon imam atau apa gitu sebutannya, aku kurang paham :). Tapi cuma tak batin aja hehehe.. dan sekarang udah tahu alasannya :). Dan baru tahu juga mas Vigo sekarang kerja di Gramedia wkwkwk, biasane nek liat IG Mas vigo cuma mbatin, kerja dimana sih, kok sekarang udah ngga di jakarta aja :))
ReplyDeleteKepengen komentar soal Pak Yudi, kok aku merasa Pak Yudi, yang aku kenal sebagai guru les di Lestari adalah orang yang murah senyum ya :) hehe.. karena setiap ngajar perasaan selalu senyum dan sabar :). Semoga Pak Yudi Beristirahat dalam damai.
Semangat Terus Mas Vigoo !!! :)
Rani Amiaty, Adik Kelas SMP :)