Tak rela melihat gadis yang dipujanya
Berdiri terus di dalam gua, letih, kurang tidur dan tampak merana
Peziarah kecil datang menyerahkan pensil dan buku tulisnya
Tiap pagi kutulis kata-kata pak guru di sini
Kalau sudah siang dan pak guru mulai membosankan
Aku selalu tertidur di atas buku ini
Tapi kini buku tulis ini untukmu
Agar kau bisa menulis pesanan mereka yang memohon-mohon padamu
Agar kau bisa tidur dengan tentram kalau lilin doa dan bunga-bunga mulai membosankanmu
07 October 2018
Seorang Anak di Depan Patung Maria
09 March 2018
Imam yang Bijaksana
Saya tidak ingat persis peristiwanya. Yang jelas waktu itu,
empat tahun yang lalu, saya masih seorang frater atau calon imam yang tinggal
di Seminari Tinggi St. Paulus Yogyakarta. Pesan melalui e-mail saya tulis tidak
lama setelah rekoleksi bulanan para frater usai. Rekoleksi bulanan saat itu
dipandu oleh Rm. Ignatius Suharyono, Pr.
Apa yang dibahas tentu saya sudah lupa. Tapi, ada bagian yang saya ingat. Romo
Haryono mengingatkan supaya buku seperti Inspirasi Batin jangan sampai membuat
para frater menjadi “manja” karena renungan atas bacaan Kitab Suci sudah
tersedia dan tinggal dibaca saja. Harapannya, para frater tetap mengolah bacaan
Kitab Suci itu secara pribadi sehingga mutiara-mutiara iman yang ditemukan
dapat lebih berbicara dalam hidup.
Apa yang disampaikan Romo Haryono bagi saya
menarik, tidak hanya soal isinya saja, tetapi juga konteksnya. Konteksnya,
Seminari Tinggi adalah tempat beberapa kontributor Inspirasi Batin tinggal dan setiap frater diberi buku Inspirasi Batin secara cuma-cuma.
Jadi, ajakan untuk menjadi kritis itu segar dan kontekstual.
Dalam e-mail saya menulis, “Rama, maturnuwun pendampingannya
dalam rekoleksi. Soal Inspirasi Batin, saya setuju dengan pendapat Rama. Berkah
Dalem.”
Selang tiga hari, Romo Haryono membalas. Beliau menulis
sebagai berikut.
“matur nuwun frater awit paringipun koment. Buku wau mangga
tetep dipun ginakaken awit sampun dipun paringi, nanging ampun ngantos mandeg
dumugi pamaos kemawon. Mugi frater tetep damel renungan piyambak kagem nglatih
olah rasa batin rohani supados tansah saged dados kabar bingah kagem umat
ingkang kita ladosi. Sugeng sinau lan Berkah Dalem. Rm. Haryono.”
“Terima kasih, frater, atas tanggapannya. Buku itu silakan
tetap digunakan karena sudah diberi, tetapi jangan sampai hanya berhenti pada “membaca”
saja. Semoga frater tetap membuat renungan sendiri untuk melatih olah rasa,
batin, dan rohani, supaya dapat selalu menjadi kabar gembira bagi umat yang
kita layani. Selamat belajar dan Berkah Dalem. Rm. Haryono.”
Sejak Juli 2017, saya sudah bukan seorang calon imam lagi. Saya
sekarang seorang awam yang bekerja pada suatu perusahaan media di Jakarta. Saya
bahagia dengan jalan hidup yang baru ini, meskipun ekses-ekses tertentu dari status sebagai mantan calon imam tetap harus saya alami (atau harus saya terima kalau tidak
bisa saya ubah).
Yang harus saya terima karena tidak bisa saya ubah, misalnya nama
e-mail: igopr@yahoo.com, yang membuat
teman kantor saya yang muslim berkomentar, “Igo
pekerjaan rumah?” Ekses lain yang harus saya alami adalah ketidakpedulian
saya pada olah hidup rohani. Istilah Jawa mungkin pas menggambarkannya, saya
sudah kewowogen segala sesuatu
tentang olah hidup rohani sampai sudah muak dan menyisakan semangat
sedikit saja untuk basa-basi ikut misa dan memberi kolekte.
Nah, siang tadi saya membuka e-mail dan menemukan jejak
korespondensi tadi. Saya tersenyum sendiri mengingat soal “Inspirasi Batin dan
kemungkinan efek manja” yang waktu itu dibahas. Saya membaca ulang
tanggapan Romo Haryono dan menemukan kebijaksanaan yang menyejukkan.
Kebijaksanaan itu menyejukkan karena pertama-tama lahir dari kesederhanaan dan
kesaksian hidupnya sendiri selama tinggal di Seminari Tinggi St. Paulus, tidak sekadar dari pengetahuan, budi, atau kepandaian. Kenyataan
ini sering tak disadari: yang mengesan di hati orang adalah kebaikan dan ketulusan
hati yang berasal dari dalam dan bukan atribut-atribut luar,
entah kegantengan atau kecantikan, kepandaian, entah harta benda. Tanggapan Romo
Haryono ditulisnya sebagai seorang imam yang menempatkan
dirinya tidak subordinat dengan para frater yang waktu itu ia
pandu (merasa superior), tetapi sederajat sebagai kawan yang lebih berpengalaman dan percaya kepada mereka. Bagi imam yang bijaksana, fokus utamanya tentu adalah pelayanan umat beriman yang dapat semakin baik.
Sekarang pesan itu memang sudah tidak relevan bagi saya.
Namun, kebijaksanaan di balik pesan itu tetap memancar dan, tidak saya sangka, membasahi tanah kering di hati saya. Semoga tunas-tunas kepedulian untuk olah
rasa dan batin kembali tumbuh dalam hidup saya. Terima kasih, Romo!
23 February 2018
Hello, 2018.
I’m back. 2017 is a fucking nightmare.
Tahun itu, perjalanan panjang saya sebagai calon romo
berhenti. Saya mengundurkan diri karena memang keuskupan tidak menghendaki saya
menjadi imamnya. Keuskupan bisa berdalih saya bisa menjadi calon imamnya lagi
setelah beberapa waktu menjalani hidup sebagai awam. Tetapi, saya juga bisa bertanya
hal yang sama yang kerap ditanyakan para petinggi keuskupan waktu itu: “Mau sampai kapan?”
Lebih dari itu, saya merasa peristiwa itu sudah menyerempet soal
harga diri. Bayangkan saja, empat belas tahun yang lalu saya melamar keuskupan
agar menerima saya berproses menjadi imam, empat belas tahun kemudian keuskupan
yang saya lamar dan sudah saya pacari itu menghendaki saya mencari jodoh lain. Apa pun
latar belakangnya, hal itu merupakan keputusan yang membuat saya berpikir, “Bajingan, tahu seperti ini yang terjadi di
ujung jalan, saya tidak akan pernah menyerahkan diri pada proses pendidikan
calon imam.”
Itulah yang terjadi. Kalau mau dirohani-rohanikan, hal itu
saya rasa memang sudah jalan yang Tuhan tunjukkan. Masih bisa didebat juga
sebenarnya yang “dirohani-rohanikan” itu benar atau tidak, mengingat yang saya
sebut jalan Tuhan itu bisa juga disebut jalan pembesar keuskupan. Nah, apakah
jalan pembesar keuskupan itu selalu merupakan jalan Tuhan? Yang Tuhan katakan
seingat saya "Akulah Jalan, Kebenaran, dan Kehidupan". Yang dijamin kebenarannya hanya itu,
hehe.
Tahun itu juga, bapak saya dipanggil oleh Tuhan.
Tidak pernah terbayangkan bahwa bapak akan meninggalkan kami
secepat ini. Beberapa minggu sebelum bapak meninggal, bapak memang mengeluh
sakit. Beliau kelihatan semakin ringkih. Tetapi, siapa yang menyangka Tuhan
akan memanggilnya secepat ini?
Sehari sebelum bapak meninggal, bapak berangkat ke sekolah
untuk yang terakhir kali. Saya saksinya. Pagi itu, setelah mengantarkan ibu ke sekolah, saya melihat bapak mengenakan seragam PNS-nya. Oh, bapak menunggu saya pulang sebelum berangkat ke sekolah, pikir saya. Tidak seperti
biasanya, pagi itu bapak berpakaian rapi sekali. Saya bertanya kepada bapak, “Lho, bapak mau berangkat ke sekolah, to?” Saya
bertanya karena tahu persis bapak masih sakit. Ketika berjalan ke luar rumah
saja bapak masih sempat berbicara kepada saya, “Jane iki bapak sikile
pegel-pegel rasane, tapi bapak wis suwe ra mangkat. Ra kepenak.”
Sampai depan rumah,
sebelum bapak berangkat, saya sempat berkata lagi kepada bapak, “Bapak,
ternyata bener ya. Numpak motor lanang ki luwih penak. Ora kesel. Bar numpak
Verza, terus numpak Vega kok rasane cilik nemen.” Mendengar itu, bapak tidak
berkomentar apa-apa selain tersenyum. Senyumnya indah, jarang saya lihat bapak tersenyum seperti itu. Terus terang saya tidak ingin melebih-lebihkan, tetapi senyum bapak pagi
itu memang begitu berarti. Orang yang mengenal bapak pasti tahu bahwa senyum
bapak mahal harganya. Cari saja foto bapak yang menunjukkan bapak sedang
tersenyum. Pasti sulit.
Saya sama sekali tidak tahu bahwa pagi itu, bapak memberikan senyum terakhir kepada anak lanang-nya ini. Senyumnya yang mahal, tulus, dan terbaik, muncul kendati pikiran dan hatinya mungkin masih tidak menentu bagaimana nasib anak lanang ini setelah mundur sebagai calon imam.
Saya sama sekali tidak tahu bahwa pagi itu, bapak memberikan senyum terakhir kepada anak lanang-nya ini. Senyumnya yang mahal, tulus, dan terbaik, muncul kendati pikiran dan hatinya mungkin masih tidak menentu bagaimana nasib anak lanang ini setelah mundur sebagai calon imam.
Bapak telah dipanggil Tuhan. Semoga beristirahat dalam
damai. Hidup akan kami perjuangkan semampu kami, Bapak. Semoga
kekuatiran-kekuatiran di masa-masa terakhir hidupmu kini berubah menjadi doa
bagi kami dari Surga sana.
Akhir Januari 2018, saya pindah domisili ke Jakarta. Saya
diterima bekerja di penerbit Gramedia Pustaka Utama. Saya tentu bersyukur
karena bisa diterima bekerja di tempat yang konon berisi oleh orang-orang
pandai itu. Tetapi, saya juga gundah gulana karena harus meninggalkan ibu
sendirian di rumah.
Pada akhirnya, kita harus berhadapan dengan momen iman,
bukan? Musa menghadapi momen itu ketika terjepit di pinggir laut. Di depan
laut, di belakang pasukan tentara Mesir. Abraham menjumpai momen itu saat
diminta membakar Ishak sebagai bagian dari ritual agama. Di satu sisi, Abraham
sangat taat kepada Tuhan. Di sisi lain, “that’s
my fucking son!” Momen iman itu tiba juga untuk saya, yakni saat saya
menyerahkan “ibu yang jadi sendirian di rumah” kepada Tuhan untuk
dilindungi. Semoga Tuhan senantiasa melindungi ibu.
Akhir kata, semoga tahun 2018 bisa menjadi tahun yang baik.
Cukuplah satu “2017” dalam hidup yang saya mulai dari nol lagi ini. Oh ya, yang
terakhir saya ingin mengutip kutipan terkenal berikut: “Hard times will always
reveal true friends.” Ada “teman” yang saya kira seorang sahabat diam-diam saja
selama saya menjalani masa transisi ini. Ada pula yang membantu secara tulus,
seperti “Russian guy” from BSD, Pam-Pam. Dia membantu banyak ketika saya datang
ke Jakarta. Thanks, Pam!
See you later!
Subscribe to:
Posts (Atom)