29 April 2014

Tentang Cinta

Saat melihat-lihat rak buku di kamar, mataku tiba-tiba tertuju pada salah satu buku harian (diary). Warnanya hitam, berdebu. Lembar demi lembar kubuka, aku tersenyum melihat catatan harian tanggal 13 Desember 2008.
Kalau aku tidak minta ibu untuk meneleponku hari ini, aku akan kehilangan satu informasi yang sangat penting. Kita menamainya firasat, tanda-tanda yang tertangkap untuk menunjukkan suatu makna tertentu. Ada makna apa di balik telepon ibu?
Dalam percakapan, Ito, adik laki-lakiku, menyela. Ia memberiku informasi bahwa Uci menikah hari ini. Siapa Uci kujelaskan nanti. Yang jelas, informasi itu dapat dipercaya karena Ito mendapatkannya dari Tangguh, adik laki-laki Uci, yang merupakan teman sekolah seangkatannya.
Hatiku tersentak. Perasaanku tidak terdefinisikan. Bahagia? Kehilangan? Gamang? Semuanya menyebar ke relung-relung diri. Tidak bisa tidak aku mesti menelepon Uci. Nomornya sudah di tangan. Aku hanya butuh sedikit waktu dari seluruh kesibukannya. Semoga.
Kukayuh sepeda menuju wartel. Kutekan nomornya, perasaanku tak menentu. Nada tunggu terdengar: “Kau dan Aku”, Nidji. Tidak terangkat. Kututup telepon. Tidak mungkinkah aku meneleponnya sekarang?
Aku mencobanya sekali lagi. Diangkat! Ya Tuhan, suaranya. Setahun, ah tidak, dua tahun aku tidak mendengarkan suara itu. Tidak pernah berubah. Selalu ada kepolosan, sedikit kemanjaan, ketulusan, dan kejujuran dalam suaranya. Suara yang pernah membuatku tidak bisa tidur karena ia melengking ketika tahu bahwa aku suka padanya. Kalau ada satu hal yang membuat suaranya terdengar berbeda, hal itu adalah aksen kedewasaannya. Rasanya, ia memang telah matang dan dewasa. Pilihan untuk menikah bukanlah sesuatu yang ganjil.
Jelas aku gugup bicara dengannya. Bertanya kabar, memberinya selamat, sementara secara lisan ia mengundangku untuk hadir dalam pestanya. Aku juga bercerita bagaimana aku mengetahui informasi itu. Yang menarik, aku sempat bertanya siapa nama suaminya, tetapi ia tidak menjawab. Barangkali ia takut suaminya kusantet. Tapi tidak, rasanya ia lebih mau menjaga perasaanku. Jika benar begitu, bukankah ia begitu mulia dan suci?
Aku sering merasa yakin, dengan semuanya yang telah terjadi, ia sebenarnya adalah cinta yang mewujud dalam pribadi. Ia tidak pernah menerima cintaku, tetapi juga tidak menolaknya. Ia mencintaiku dengan caranya, membuatku sadar bahwa bukan aku yang berkuasa atas cinta. Cinta tidak pernah dikuasai, cintalah yang menguasai. Cinta menuntut kebebasan batin, kesediaan untuk berkorban, dan hati yang siap terluka. Tetapi pada saat yang sama, cinta membuatku bebas, semakin positif, dan sembuh dari obsesi untuk memiliki. Cinta yang sejati membuat kita bertumbuh dewasa.
Aku merasa kehilangan saat ini. Ketika Dewi, sahabat dekatku, telah menjadi yang pertama meninggalkanku 1 Desember 2008 yang lalu, kini giliran Uci, perempuan yang telah kucintai selama hampir separuh usiaku, meninggalkanku. Aku masih ingat bagaimana perjumpaanku yang pertama dengannya: 15 Agustus 2001. Pesonanya membuatku mencintainya sampai sekarang. 2005, ia mengirimkan surat untukku ke seminari. Aku melayang, tidak terbayang mendapatkan surat itu, seperti mimpi. Hati penuh haru, lantaran sebagai seorang muslim, ia rela dan berani mengirimkan surat ke tempat pendidikan calon imam Katolik. Itulah mengapa aku percaya ia adalah titisan cinta, bukan titisan Srikandi atau bidadari manapun juga. 2001 sampai 2008 menjadi rentang waktu kerinduan yang terlalu panjang untuk dijawab hanya dengan beberapa pertemuan. 1 Januari 2007 menjadi momen pertama dan terakhirku bisa duduk bersamanya. Saat itu, ia benar-benar cantik.  
Kini selesai sudah ceritaku. Berat harus kehilangan seseorang yang selalu menempati hatimu. Cinta menuntunku untuk melepas, sebab aku tak pernah benar-benar merengkuh. Cinta menuntunku untuk belajar merelakan, sebab aku tak pernah sungguh-sungguh memiliki. Cinta menuntunku untuk berhenti, sebab dengan berhenti aku mengerti dan mengalaminya sebagai yang abadi.
13 Desember 2008
Saat ini, relasiku dengannya baik. Ia masih menjadi satu-satunya sahabat muslim yang memanggilku dengan “Romo”. Aku masih mengasihinya, dengan cinta baru yang telah didewasakan sejarah. Belum lama, kami berbincang melalui media instagram. Intinya, kami bisa sama-sama tertawa atas pengalaman cinta yang terjadi kurang lebih tiga belas tahun silam.
Akhirnya, kututup tulisan ini dengan kata-kata Paulo Coelho.
Cinta hanya sebuah kata, sampai kita biarkan cinta itu menguasai kita dengan segenap dayanya.
Cinta hanya sepatah kata, sampai seseorang datang dan memberinya makna.
Jangan menyerah. Ingatlah, kunci yang bisa membuka pintu selalu kunci terakhir dalam rangkaiannya.

(Manuskrip yang Ditemukan di Accra, 88-89)

Kepadanya, terima kasih telah menjadi titisan cinta dan kunci terakhir yang membuatku tidak menyerah.