Saat
melihat-lihat rak buku di kamar, mataku tiba-tiba tertuju pada salah satu buku
harian (diary). Warnanya hitam, berdebu.
Lembar demi lembar kubuka, aku tersenyum melihat catatan harian tanggal 13
Desember 2008.
…
Kalau aku tidak minta ibu untuk
meneleponku hari ini, aku akan kehilangan satu informasi yang sangat penting.
Kita menamainya firasat, tanda-tanda yang tertangkap untuk menunjukkan suatu
makna tertentu. Ada makna apa di balik telepon ibu?
Dalam percakapan, Ito, adik laki-lakiku,
menyela. Ia memberiku informasi bahwa Uci menikah hari ini. Siapa Uci
kujelaskan nanti. Yang jelas, informasi itu dapat dipercaya karena Ito
mendapatkannya dari Tangguh, adik laki-laki Uci, yang merupakan teman sekolah
seangkatannya.
Hatiku tersentak. Perasaanku tidak
terdefinisikan. Bahagia? Kehilangan? Gamang? Semuanya menyebar ke relung-relung
diri. Tidak bisa tidak aku mesti menelepon Uci. Nomornya sudah di tangan. Aku hanya
butuh sedikit waktu dari seluruh kesibukannya. Semoga.
Kukayuh sepeda menuju wartel. Kutekan nomornya,
perasaanku tak menentu. Nada tunggu terdengar: “Kau dan Aku”, Nidji. Tidak terangkat.
Kututup telepon. Tidak mungkinkah aku meneleponnya sekarang?
Aku mencobanya sekali lagi. Diangkat!
Ya Tuhan, suaranya. Setahun, ah tidak, dua tahun aku tidak mendengarkan suara
itu. Tidak pernah berubah. Selalu ada kepolosan, sedikit kemanjaan, ketulusan,
dan kejujuran dalam suaranya. Suara yang pernah membuatku tidak bisa tidur
karena ia melengking ketika tahu bahwa aku suka padanya. Kalau ada satu hal
yang membuat suaranya terdengar berbeda, hal itu adalah aksen kedewasaannya. Rasanya,
ia memang telah matang dan dewasa. Pilihan untuk menikah bukanlah sesuatu yang
ganjil.
Jelas aku gugup bicara dengannya. Bertanya
kabar, memberinya selamat, sementara secara lisan ia mengundangku untuk hadir
dalam pestanya. Aku juga bercerita bagaimana aku mengetahui informasi itu. Yang
menarik, aku sempat bertanya siapa nama suaminya, tetapi ia tidak menjawab. Barangkali
ia takut suaminya kusantet. Tapi tidak, rasanya ia lebih mau menjaga perasaanku.
Jika benar begitu, bukankah ia begitu mulia dan suci?
Aku sering merasa yakin, dengan semuanya yang
telah terjadi, ia sebenarnya adalah cinta yang mewujud dalam pribadi. Ia tidak
pernah menerima cintaku, tetapi juga tidak menolaknya. Ia mencintaiku dengan
caranya, membuatku sadar bahwa bukan aku yang berkuasa atas cinta. Cinta tidak
pernah dikuasai, cintalah yang menguasai. Cinta menuntut kebebasan batin,
kesediaan untuk berkorban, dan hati yang siap terluka. Tetapi pada saat yang
sama, cinta membuatku bebas, semakin positif, dan sembuh dari obsesi untuk
memiliki. Cinta yang sejati membuat kita bertumbuh dewasa.
Aku merasa kehilangan saat ini. Ketika
Dewi, sahabat dekatku, telah menjadi yang pertama meninggalkanku 1 Desember
2008 yang lalu, kini giliran Uci, perempuan yang telah kucintai selama hampir
separuh usiaku, meninggalkanku. Aku masih ingat bagaimana perjumpaanku yang
pertama dengannya: 15 Agustus 2001. Pesonanya membuatku mencintainya sampai
sekarang. 2005, ia mengirimkan surat untukku ke seminari. Aku melayang, tidak
terbayang mendapatkan surat itu, seperti mimpi. Hati penuh haru, lantaran sebagai
seorang muslim, ia rela dan berani mengirimkan surat ke tempat pendidikan calon
imam Katolik. Itulah mengapa aku percaya ia adalah titisan cinta, bukan titisan
Srikandi atau bidadari manapun juga. 2001 sampai 2008 menjadi rentang waktu
kerinduan yang terlalu panjang untuk dijawab hanya dengan beberapa pertemuan. 1
Januari 2007 menjadi momen pertama dan terakhirku bisa duduk bersamanya. Saat
itu, ia benar-benar cantik.
Kini selesai sudah ceritaku. Berat harus
kehilangan seseorang yang selalu menempati hatimu. Cinta menuntunku untuk melepas,
sebab aku tak pernah benar-benar merengkuh. Cinta menuntunku untuk belajar
merelakan, sebab aku tak pernah sungguh-sungguh memiliki. Cinta menuntunku
untuk berhenti, sebab dengan berhenti aku mengerti dan mengalaminya sebagai
yang abadi.
13
Desember 2008
…
Saat
ini, relasiku dengannya baik. Ia masih menjadi satu-satunya sahabat muslim yang
memanggilku dengan “Romo”. Aku masih mengasihinya, dengan cinta baru yang telah
didewasakan sejarah. Belum lama, kami berbincang melalui media instagram. Intinya,
kami bisa sama-sama tertawa atas pengalaman cinta yang terjadi kurang lebih
tiga belas tahun silam.
Akhirnya,
kututup tulisan ini dengan kata-kata Paulo Coelho.
Cinta
hanya sebuah kata, sampai kita biarkan cinta itu menguasai kita dengan segenap
dayanya.
Cinta
hanya sepatah kata, sampai seseorang datang dan memberinya makna.
Jangan
menyerah. Ingatlah, kunci yang bisa membuka pintu selalu kunci terakhir dalam
rangkaiannya.
(Manuskrip yang Ditemukan di
Accra, 88-89)
Kepadanya, terima kasih telah menjadi
titisan cinta dan kunci terakhir yang membuatku tidak menyerah.