04 October 2013

Hordeolum

Dua-tiga hari ini, saya mengalami bintitan. Menarik, sebab inilah pertama kali dalam hidup penyakit yang lumayan mythical itu menyerang saya. Saya sebut mythical, sebab bintitan atau yang dikenal orang Jawa sebagai timbilen ini memiliki mitos yang cukup melegenda. Bintitan atau timbilen kerap dikaitkan dengan akibat perbuatan cabul mengintip orang yang telanjang, entah sedang ganti pakaian, mandi, atau berhubungan seks. Mitos ini membuat penyakit itu menjadi seperti kutuk kecil. Orang yang terkena bintitan secara moral divonis sebagai terpidana kasus mengintip.
Selain mengintip, rupanya mitos bintitan juga menyangkut perbuatan dusta. Tadi siang di ruang makan, Rm. Gitowiratmo, Pr, dengan bercanda menyapa saya, “Nah, ini dia akibat kamu suka berbohong.” Saya menyeringai, merasa menjadi Pinokio versi Indonesia, yang ketika berbohong hidungnya tetap pesek, tetapi matanya jadi bintitan.
Bagaimanapun juga, penyakit mythical ini menyebalkan. Kalau mata yang sedang terkena bintitan gatal, saya tidak bisa menguceknya. Belum lagi, kalau saya harus membungkuk. Mata yang terkena bintitan serasa mau copot ke bawah. Itu sebabnya saya ingin penyakit ini segera sembuh.
Penyembuhannya pun tidak kalah menarik.
Metode penyembuhan suatu penyakit dapat dibagi menjadi dua. Pertama, metode penyembuhan Barat. Metode inilah yang mendasari ilmu kedokteran. Metode ini mulai dengan analisis medis demi diketahuinya indikasi-indikasi medis. Dari situ, proses berlanjut dengan diagnosis, dan barulah diambil tindakan-tindakan medis tertentu. Kedua, metode penyembuhan Timur. Metode ini cukup berbeda dengan metode penyembuhan Barat. Dalam terminologi metode penyembuhan Barat, proses penyembuhan metode ini mengabaikan proses analisis medis dan diagnosis. Jadi, penyakit yang disimpulkan dari tanda-tanda lahiriah langsung diberi tindakan medis, entah dengan obat atau aksi-aksi tertentu. Misalnya, orang yang masuk angin lalu dikerok. Tindakan medis mengerok tidak melewati proses analisis medis dan diagnosis, sebagaimana akan dialami orang yang masuk angin itu jika pergi berobat ke dokter atau Rumah Sakit.
Kembali ke bintitan, penyakit mythical yang kita bicarakan. Penyembuhan bintitan juga dapat terjadi melalui dua metode itu. Metode penyembuhan Barat akan saya uraikan kemudian. Kita bicara soal metode penyembuhan Timur terlebih dahulu.
Letak sesuatu yang menarik dari proses recovery bintitan ada dalam metode penyembuhan Timur ini. Ada berbagai macam cara. Hendy, sahabat saya, yakin seratus persen bahwa bintitan bisa sembuh dengan mengoleskan air seni pada mata yang terkena bintitan. Sebagai catatan, air seni yang dioleskan sebaiknya adalah yang diambil sesaat sebelum proses kencing selesai. Lain lagi dengan pendapat Bruder Hadi. Katanya, bintitan bisa sembuh dengan mengoleskan upil (kotoran hidung) pada mata yang sakit.
Dua tindakan medis itu memang tidak lazim sebagai proses penyembuhan. Sulit dijelaskan secara ilmiah juga. Tetapi, mereka tidak bisa disepelekan. It is the pride of East Tradition of Healing. Banyak orang-orang Jawa, termasuk saya, ketika masuk angin dikerok menjadi sembuh. Saya tidak bisa menjelaskan bagaimana tindakan medis kerok mampu menyembuhkan. Tetapi fakta berbicara, tindakan kerok menyembuhkan. Larisnya tradisi kerok di kalangan banyak orang ketika masuk angin menjadi salah satu tanda.
Yang berikut adalah bagaimana metode penyembuhan Barat menjelaskan fenomena bintitan dan mengurai proses penyembuhannya.  
Bintitan dikenal dalam dunia medis sebagai hordeolum, infeksi kelenjar sebasea yang terletak di bawah kelopak mata, khususnya di dasar bulu mata. Ada dua jenis hordeolum. Pertama, externum hordeolum (syte). Kedua, internum hordeolum. Hordeolum eksternal terjadi ketika infeksi mengenai kelenjar Zeiss dan Moll. Sedangkan hordeolum internal terjadi ketika infeksi mengenai kelenjar Meibom. Sebagian besar kasus hordeolum (90-95%), baik eksternal maupun internal, disebabkan oleh bakteri Staphylococcus Aureus. Bakteri lain yang dapat menyebabkan hordeolum, antara lain: Staphylococcus Epidermidis, Streptococcus, dan Eschericia Coli.
Gejala umum pada penderita hordeolum: kelopak mata bengkak, rasa pegal dan perih pada mata terutama ketika badan membungkuk, mata cenderung menjadi merah dan berair, bisa kemudian terbentuk abses (kantong nanah). Penjelasan detailnya silakan bertanya pada dokter terdekat, hehe.
Biasanya, bintitan akan sembuh dengan sendirinya dalam waktu 5-7 hari. Akan tetapi, jika ingin cepat sembuh, ada beberapa tindakan medis yang bisa diupayakan. Pertama, kompres mata yang sakit dengan air hangat selama 10-15 menit beberapa kali dalam satu hari. Upaya tersebut bertujuan mengurangi rasa sakit dan mempercepat kesembuhan. Kedua, pemberian antibiotika topikal. Antibiotika yang diberikan dapat berupa salep mata (eye ointment) atau tetes mata (eye drop). Antibiotika yang diberikan kiranya merupakan antibiotika yang memiliki spektrum sempit, yakni tertuju pada bakteri Staphylococcus Aureus. Yang dapat diberikan, misalnya, salep mata Bacitracin, Tobramicin, atau Eritromicin. Antibiotika sistemik baru dapat dipertimbangkan untuk diberikan ketika bintitan berkembang semakin parah, misalnya ada tanda-tanda bakterimia atau meibomitis kronik (Chalazion). Ketiga, operasi. Upaya tersebut ditempuh ketika pemberian antibiotika tidak berpengaruh secara signifikan. Pembedahan dilakukan untuk membuat drainase pada hordeolum.
Njlimet ya?
Yang penting adalah bahwa tujuan kedua metode penyembuhan tersebut sama, yakni kesembuhan. Kesembuhan itu jugalah yang saat ini sedang saya nanti-nantikan.
Terkait dengan diri sendiri, mana metode yang saya pakai? Dua-duanya. Saya tadi pagi ke Rumah Sakit Panti Rapih Yogyakarta dan sudah mendapatkan antibiotika: salep mata Ikamicetin Clhoramphenicol serta obat tablet Ciprofloxacin dan Dansera. Saya akan rutin kompres mata dengan air hangat beberapa hari ini. Di samping itu, saya juga akan mencoba mengikuti keyakinan sahabat saya Hendy, yaitu mengoleskan air seni. Yang mungkin tidak saya ikuti adalah keyakinan Bruder Hadi terkait dengan tindakan medis mengoleskan upil, haha.
Terakhir, karena saya calon imam, mungkin baik jika ada refleksinya.
Refleksi saya sederhana. Terkait dengan hordeolum, kotoran yang mengandung bakteri jahat destruktif karena menyebabkan infeksi pada kelenjar sebasea di kelopak mata. Tindakan dosa mungkin juga seperti itu, destruktif. Poinnya adalah kita biasanya menghubungkan tindakan dosa dengan relasi kita terhadap Allah, tetapi kadangkala kita lupa menyadari bahwa tindakan dosa bersifat destruktif terhadap hidup kita sendiri. Secara teologis, dosa memisahkan kita dari Allah, sebagaimana dialami oleh Adam dan Hawa dengan memakan buah terlarang. Tetapi, sebaiknya tidak dilupakan bahwa secara antropologis, dosa membuat hidup kita semakin terpuruk.
Contohnya sederhana. Ketika saya berbohong, persoalannya bukan hanya bahwa saya membuat diri saya berada semakin jauh dari Allah, melainkan juga bahwa dengan berbohong, saya merusak relasi dengan sesama, terutama pihak-pihak yang saya rugikan/manfaatkan. Lebih dari itu, dengan berbohong saya merusak hidup saya sendiri. Integritas nilai-nilai dalam hidup saya menjadi kacau. Saya juga menjadi semakin tidak percaya diri karena dengan berbohong, saya menutup-nutupi kelemahan diri.
Eh, tunggu sebentar.
Berbicara berbohong, tiba-tiba saya teringat Pinokio versi Indonesia. Jangan lupa, berbohong bisa menyebabkan bintitan, timbilen, atau hordeolum, haha. Mitos lagi, mitos lagi. Mungkin mitos “ngapusi marai timbilen” memang tercipta untuk melarang orang berbohong, sebab kadangkala mitos memang lumayan mujarab untuk melarang orang. Saya pernah mendengar kisah orang yang meletakkan sajen di bawah pohon yang sering dikencingi orang untuk membuatnya tidak dikencingi lagi. Efektif rupanya. Pohon itu tidak lagi dikencingi orang.
The End

No comments:

Post a Comment