Dua-tiga hari ini, saya mengalami bintitan. Menarik, sebab inilah pertama
kali dalam hidup penyakit yang lumayan mythical
itu menyerang saya. Saya sebut mythical,
sebab bintitan atau yang dikenal orang Jawa sebagai timbilen ini memiliki mitos yang cukup melegenda. Bintitan atau timbilen kerap dikaitkan dengan akibat
perbuatan cabul mengintip orang yang telanjang, entah sedang ganti pakaian,
mandi, atau berhubungan seks. Mitos ini membuat penyakit itu menjadi seperti
kutuk kecil. Orang yang terkena bintitan secara moral divonis sebagai terpidana
kasus mengintip.
Selain mengintip, rupanya mitos bintitan juga menyangkut perbuatan dusta.
Tadi siang di ruang makan, Rm. Gitowiratmo, Pr, dengan bercanda menyapa saya, “Nah, ini dia akibat kamu suka berbohong.”
Saya menyeringai, merasa menjadi Pinokio versi Indonesia, yang ketika berbohong
hidungnya tetap pesek, tetapi matanya jadi bintitan.
Bagaimanapun juga, penyakit mythical
ini menyebalkan. Kalau mata yang sedang terkena bintitan gatal, saya tidak bisa
menguceknya. Belum lagi, kalau saya harus membungkuk. Mata yang terkena
bintitan serasa mau copot ke bawah. Itu sebabnya saya ingin penyakit ini segera
sembuh.
Penyembuhannya pun tidak kalah menarik.
Metode penyembuhan suatu penyakit dapat dibagi menjadi dua. Pertama, metode penyembuhan Barat.
Metode inilah yang mendasari ilmu kedokteran. Metode ini mulai dengan analisis
medis demi diketahuinya indikasi-indikasi medis. Dari situ, proses berlanjut
dengan diagnosis, dan barulah diambil tindakan-tindakan medis tertentu. Kedua, metode penyembuhan Timur. Metode
ini cukup berbeda dengan metode penyembuhan Barat. Dalam terminologi metode
penyembuhan Barat, proses penyembuhan metode ini mengabaikan proses analisis
medis dan diagnosis. Jadi, penyakit yang disimpulkan dari tanda-tanda lahiriah
langsung diberi tindakan medis, entah dengan obat atau aksi-aksi tertentu.
Misalnya, orang yang masuk angin lalu dikerok. Tindakan medis mengerok tidak
melewati proses analisis medis dan diagnosis, sebagaimana akan dialami orang
yang masuk angin itu jika pergi berobat ke dokter atau Rumah Sakit.
Kembali ke bintitan, penyakit mythical
yang kita bicarakan. Penyembuhan bintitan juga dapat terjadi melalui dua metode
itu. Metode penyembuhan Barat akan saya uraikan kemudian. Kita bicara soal
metode penyembuhan Timur terlebih dahulu.
Letak sesuatu yang menarik dari proses recovery bintitan ada dalam metode penyembuhan Timur ini. Ada
berbagai macam cara. Hendy, sahabat saya, yakin seratus persen bahwa bintitan
bisa sembuh dengan mengoleskan air seni pada mata yang terkena bintitan.
Sebagai catatan, air seni yang dioleskan sebaiknya adalah yang diambil sesaat
sebelum proses kencing selesai. Lain lagi dengan pendapat Bruder Hadi. Katanya,
bintitan bisa sembuh dengan mengoleskan upil
(kotoran hidung) pada mata yang sakit.
Dua tindakan medis itu memang tidak lazim sebagai proses penyembuhan.
Sulit dijelaskan secara ilmiah juga. Tetapi, mereka tidak bisa disepelekan. It is the pride of East Tradition of Healing.
Banyak orang-orang Jawa, termasuk saya, ketika masuk angin dikerok menjadi
sembuh. Saya tidak bisa menjelaskan bagaimana tindakan medis kerok mampu
menyembuhkan. Tetapi fakta berbicara, tindakan kerok menyembuhkan. Larisnya
tradisi kerok di kalangan banyak orang ketika masuk angin menjadi salah satu
tanda.
Yang berikut adalah bagaimana metode penyembuhan Barat menjelaskan
fenomena bintitan dan mengurai proses penyembuhannya.
Bintitan dikenal dalam dunia medis sebagai hordeolum, infeksi kelenjar sebasea yang terletak di bawah kelopak
mata, khususnya di dasar bulu mata. Ada dua jenis hordeolum. Pertama, externum hordeolum (syte).
Kedua, internum hordeolum. Hordeolum eksternal terjadi ketika infeksi
mengenai kelenjar Zeiss dan Moll. Sedangkan hordeolum
internal terjadi ketika infeksi mengenai kelenjar Meibom. Sebagian besar kasus hordeolum (90-95%), baik eksternal
maupun internal, disebabkan oleh bakteri Staphylococcus
Aureus. Bakteri lain yang dapat menyebabkan hordeolum, antara lain: Staphylococcus
Epidermidis, Streptococcus, dan Eschericia Coli.
Gejala umum pada penderita hordeolum:
kelopak mata bengkak, rasa pegal dan perih pada mata terutama ketika badan
membungkuk, mata cenderung menjadi merah dan berair, bisa kemudian terbentuk
abses (kantong nanah). Penjelasan detailnya silakan bertanya pada dokter
terdekat, hehe.
Biasanya, bintitan akan sembuh dengan sendirinya dalam waktu 5-7 hari.
Akan tetapi, jika ingin cepat sembuh, ada beberapa tindakan medis yang bisa
diupayakan. Pertama, kompres mata
yang sakit dengan air hangat selama 10-15 menit beberapa kali dalam satu hari.
Upaya tersebut bertujuan mengurangi rasa sakit dan mempercepat kesembuhan. Kedua, pemberian antibiotika topikal.
Antibiotika yang diberikan dapat berupa salep mata (eye ointment) atau tetes mata (eye
drop). Antibiotika yang diberikan kiranya merupakan antibiotika yang
memiliki spektrum sempit, yakni tertuju pada bakteri Staphylococcus Aureus. Yang dapat diberikan, misalnya, salep mata
Bacitracin, Tobramicin, atau Eritromicin. Antibiotika sistemik baru dapat
dipertimbangkan untuk diberikan ketika bintitan berkembang semakin parah,
misalnya ada tanda-tanda bakterimia atau meibomitis kronik (Chalazion). Ketiga, operasi. Upaya tersebut ditempuh ketika pemberian
antibiotika tidak berpengaruh secara signifikan. Pembedahan dilakukan untuk
membuat drainase pada hordeolum.
Njlimet ya?
Yang penting adalah bahwa tujuan kedua metode penyembuhan tersebut sama,
yakni kesembuhan. Kesembuhan itu jugalah yang saat ini sedang saya
nanti-nantikan.
Terkait dengan diri sendiri, mana metode yang saya pakai? Dua-duanya.
Saya tadi pagi ke Rumah Sakit Panti Rapih Yogyakarta dan sudah mendapatkan
antibiotika: salep mata Ikamicetin
Clhoramphenicol serta obat tablet Ciprofloxacin
dan Dansera. Saya akan rutin kompres
mata dengan air hangat beberapa hari ini. Di samping itu, saya juga akan
mencoba mengikuti keyakinan sahabat saya Hendy, yaitu mengoleskan air seni.
Yang mungkin tidak saya ikuti adalah keyakinan Bruder Hadi terkait dengan
tindakan medis mengoleskan upil,
haha.
Terakhir, karena saya calon imam, mungkin baik jika ada refleksinya.
Refleksi saya sederhana. Terkait dengan hordeolum, kotoran yang mengandung bakteri jahat destruktif karena
menyebabkan infeksi pada kelenjar sebasea di kelopak mata. Tindakan dosa
mungkin juga seperti itu, destruktif. Poinnya adalah kita biasanya menghubungkan
tindakan dosa dengan relasi kita terhadap Allah, tetapi kadangkala kita lupa
menyadari bahwa tindakan dosa bersifat destruktif terhadap hidup kita sendiri.
Secara teologis, dosa memisahkan kita dari Allah, sebagaimana dialami oleh Adam
dan Hawa dengan memakan buah terlarang. Tetapi, sebaiknya tidak dilupakan bahwa
secara antropologis, dosa membuat hidup kita semakin terpuruk.
Contohnya sederhana. Ketika saya berbohong, persoalannya bukan hanya bahwa
saya membuat diri saya berada semakin jauh dari Allah, melainkan juga bahwa
dengan berbohong, saya merusak relasi dengan sesama, terutama pihak-pihak yang
saya rugikan/manfaatkan. Lebih dari itu, dengan berbohong saya merusak hidup
saya sendiri. Integritas nilai-nilai dalam hidup saya menjadi kacau. Saya juga
menjadi semakin tidak percaya diri karena dengan berbohong, saya menutup-nutupi
kelemahan diri.
Eh, tunggu sebentar.
Berbicara berbohong, tiba-tiba saya teringat Pinokio versi Indonesia. Jangan
lupa, berbohong bisa menyebabkan bintitan, timbilen,
atau hordeolum, haha. Mitos lagi,
mitos lagi. Mungkin mitos “ngapusi marai
timbilen” memang tercipta untuk melarang orang berbohong, sebab kadangkala mitos
memang lumayan mujarab untuk melarang orang. Saya pernah mendengar kisah orang
yang meletakkan sajen di bawah pohon yang sering dikencingi orang untuk
membuatnya tidak dikencingi lagi. Efektif rupanya. Pohon itu tidak lagi
dikencingi orang.
The End
No comments:
Post a Comment