Sebelum memberi berkat penutup misa Paskah pada 17 April 2022, Romo Jack Tarigan, Pastor Paroki Gereja Kristus Raja, Pejompongan, sempat mengungkapkan, “Mengikuti misa adalah hak orang Katolik, tak peduli Anda umat paroki atau bukan.” Mendengarnya, ada perasaan lega dan sedikit haru mengalir di dada.
Sejak awal pandemi, saya mengubur bayangan mengenai mengikuti misa di gereja secara langsung. Saya mengerti bahwa pembatasan kehadiran umat akan dilakukan secara ketat. Mengingat situasi pandemi per Maret 2022 cukup baik, muncul harapan saya bisa Paskahan di gereja. Apalagi, ada situs yang memfasilitasi umat untuk mengikuti misa di gereja, yaitu Belarasa.
Akan tetapi, rupanya Belarasa hanya diperuntukkan bagi umat Keuskupan Agung Jakarta. Orang Katolik pengembara di Jakarta—yang tidak terdaftar ke lingkungan, wilayah, atau paroki mana pun—tak bisa memanfaatkan situs itu. Pada 25 Maret, saya menumpahkan kekesalan di Twitter. Saya menulis:
“Kemarin ada teman bilang bahwa orang Katolik di Jakarta bisa daftar misa via situs Belarasa. Di situ bisa pilih gereja yang diinginkan. Sempat coba daftar, gagal karena tak terdaftar di Biduk. Artinya, umat tak tercatat tak bisa dapat pelayanan. Ya sudah, tetap mengembara saja.”
“Aneh saja pelayanan di kota metropolitan sebesar Jakarta tidak memberikan ruang bagi umat pengembara, yang karena baptisannya memiliki hak menerima sakramen, tapi tak bisa dipenuhi karena tak tercatat sebagai warga paroki tertentu.”
Saya sempat menceritakan situasi hopeless saya ke seorang teman. Kepadanya, saya bertanya apakah mungkin saya—hanya agar bisa ikut misa—mendaftar jadi umat lingkungan teman saya itu. Saya tidak tahu apakah dia sempat menanyakan itu pada ketua lingkungannya, tapi setidaknya dia membantu saya dengan cara lain: memberikan akun Belarasanya pada saya. Ia bahkan mengirimkan KTP-nya ke alamat saya, just in case. Dengan itu, saya bisa mendaftar untuk mengikuti perayaan Paskah secara langsung di gereja, meski dengan embel-embel sebagai penumpang gelap. Ya, penumpang gelap.
Saya sendiri tidak mengerti mengapa menjelang Pekan Suci, saya begitu ingin merayakan Paskah di gereja. Padahal, selama pandemi saya biasa-biasa saja melewatkan Minggu tanpa misa. Boro-boro misa, berdoa dalam hidup sehari-hari pun tidak. Meminjam terminologi Karl Rahner—yang saya pelesetkan sedikit, dalam keseharian saya adalah seorang ateis anonim. Namun, saya pikir, bisa jadi justru karena itu. Saya sudah begitu tidak mengindahkan Allah dalam hidup sampai-sampai kerinduan untuk merayakan Paskah muncul dan tumbuh sendiri.
Ya Tuhan, kasihanilah saya orang pinggiran ini.
Itulah yang jadi renungan Paskah saya, iman orang-orang pinggiran dan Yesus Kristus yang merangkulnya. Label orang pinggiran lahir dari renungan mengenai komposisi layer atau lapisan.
Dalam Kitab Suci, perhatian saya tertuju pada orang-orang pinggiran—artinya mereka yang tidak termasuk dua belas murid yang memang dipanggil secara khusus untuk menyertai Yesus. Mereka ini juga pengikut Yesus, tapi tak berciri eksklusif. Mereka menjalankan hidup yang biasa-biasa saja, menekuni apa yang menjadi profesi mereka. Namun, pada momen-momen yang paling krusial, para murid lapisan kedua ini tetap menyertai Yesus (setidaknya dalam batin), sementara kedua belas murid Yesus tercerai berai. Kitab Suci jelas menunjukkan peran-peran mereka. Siapa yang berdiri di bawah salib Yesus? Ibu Yesus, Maria istri Klopas, dan Maria Magdalena. Siapa yang punya nyali untuk menghadap Pilatus dan meminta izin untuk menurunkan jenazah Yesus? Yusuf dari Arimatea. Siapa yang merawat jenazah Yesus dengan adat pemakaman orang Yahudi setelah tubuh-Nya diturunkan dari salib? Nikodemus. Siapa yang pagi-pagi pergi ke makam Yesus dan menjumpai malaikat yang menyatakan kepada mereka bahwa Yesus telah bangkit? Maria Magdalena, Yohana, Maria ibu Yakobus, dan perempuan-perempuan lain yang selalu bersama murid-murid Yesus.
Demikianlah menurut saya, Tuhan merangkul murid-murid yang berada di “lapisan luar”. Meski menjalani kehidupan yang biasa dan melakukan hal-hal yang menjadi tugas mereka, Tuhan memberikan tempat, perhatian, dan cinta kasih yang sama.
Menimbang posisi saya, yang di awal bahkan saya sebut diri sebagai ateis anonim, atau bisa juga ateis praktis, saya merasa pada kesempatan Paskah ini Tuhan juga merangkul saya. Setelah tidak lagi menjadi calon imam, saya bergerak ke lapisan terluar. Mereka para uskup, imam, diakon, frater, bruder, dan suster bagi saya merupakan lapisan tersendiri. Umat Katolik Jakarta, yang memiliki afiliasi dengan paroki tertentu, juga merupakan lapisan tersendiri. Saya berada di lapisan terluar, di luar lapisan-lapisan yang saya sebut sebelumnya. Saya menjadi umat Katolik pengembara, tak memiliki afiliasi dengan paroki mana pun, a nomadic catholic, yang untuk merayakan Paskah bahkan mesti menjadi penumpang gelap.
Dalam konteks inilah, saya bersyukur masih diperhatikan. Ia memberikan kesempatan kepada saya untuk bisa merayakan Paskah di gereja secara langsung. Ia menunjukkan dalam bacaan-bacaan Kitab Suci bahwa Ia memberikan kesempatan yang sama bagi semua murid-Nya, termasuk mereka yang berada di lapisan-lapisan luar.
Tentu tak ada jaminan bahwa setelah semuanya, hidup saya berubah, misalnya, menjadi lebih rutin untuk mengikuti misa minggu, mendaftarkan diri di lingkungan tempat saya tinggal, atau aktif dalam hidup menggereja. Barangkali saya akan tetap berada di lapisan terluar. Namun, setidaknya hati saya lega bahwa Tuhan tetap memeluk orang-orang pinggiran seperti saya ini. Bagi saya, inilah Paskah yang memerdekakan. Semoga hidup Yesus sendiri, yang dalam Kisah Para Rasul disebut “Yesus itulah yang berjalan berkeliling sambil berbuat baik”, menjadi kompas moral utama bagi saya, murid-Nya di lapisan luar ini.