Saya tidak ingat persis peristiwanya. Yang jelas waktu itu,
empat tahun yang lalu, saya masih seorang frater atau calon imam yang tinggal
di Seminari Tinggi St. Paulus Yogyakarta. Pesan melalui e-mail saya tulis tidak
lama setelah rekoleksi bulanan para frater usai. Rekoleksi bulanan saat itu
dipandu oleh Rm. Ignatius Suharyono, Pr.
Apa yang dibahas tentu saya sudah lupa. Tapi, ada bagian yang saya ingat. Romo
Haryono mengingatkan supaya buku seperti Inspirasi Batin jangan sampai membuat
para frater menjadi “manja” karena renungan atas bacaan Kitab Suci sudah
tersedia dan tinggal dibaca saja. Harapannya, para frater tetap mengolah bacaan
Kitab Suci itu secara pribadi sehingga mutiara-mutiara iman yang ditemukan
dapat lebih berbicara dalam hidup.
Apa yang disampaikan Romo Haryono bagi saya
menarik, tidak hanya soal isinya saja, tetapi juga konteksnya. Konteksnya,
Seminari Tinggi adalah tempat beberapa kontributor Inspirasi Batin tinggal dan setiap frater diberi buku Inspirasi Batin secara cuma-cuma.
Jadi, ajakan untuk menjadi kritis itu segar dan kontekstual.
Dalam e-mail saya menulis, “Rama, maturnuwun pendampingannya
dalam rekoleksi. Soal Inspirasi Batin, saya setuju dengan pendapat Rama. Berkah
Dalem.”
Selang tiga hari, Romo Haryono membalas. Beliau menulis
sebagai berikut.
“matur nuwun frater awit paringipun koment. Buku wau mangga
tetep dipun ginakaken awit sampun dipun paringi, nanging ampun ngantos mandeg
dumugi pamaos kemawon. Mugi frater tetep damel renungan piyambak kagem nglatih
olah rasa batin rohani supados tansah saged dados kabar bingah kagem umat
ingkang kita ladosi. Sugeng sinau lan Berkah Dalem. Rm. Haryono.”
“Terima kasih, frater, atas tanggapannya. Buku itu silakan
tetap digunakan karena sudah diberi, tetapi jangan sampai hanya berhenti pada “membaca”
saja. Semoga frater tetap membuat renungan sendiri untuk melatih olah rasa,
batin, dan rohani, supaya dapat selalu menjadi kabar gembira bagi umat yang
kita layani. Selamat belajar dan Berkah Dalem. Rm. Haryono.”
Sejak Juli 2017, saya sudah bukan seorang calon imam lagi. Saya
sekarang seorang awam yang bekerja pada suatu perusahaan media di Jakarta. Saya
bahagia dengan jalan hidup yang baru ini, meskipun ekses-ekses tertentu dari status sebagai mantan calon imam tetap harus saya alami (atau harus saya terima kalau tidak
bisa saya ubah).
Yang harus saya terima karena tidak bisa saya ubah, misalnya nama
e-mail: igopr@yahoo.com, yang membuat
teman kantor saya yang muslim berkomentar, “Igo
pekerjaan rumah?” Ekses lain yang harus saya alami adalah ketidakpedulian
saya pada olah hidup rohani. Istilah Jawa mungkin pas menggambarkannya, saya
sudah kewowogen segala sesuatu
tentang olah hidup rohani sampai sudah muak dan menyisakan semangat
sedikit saja untuk basa-basi ikut misa dan memberi kolekte.
Nah, siang tadi saya membuka e-mail dan menemukan jejak
korespondensi tadi. Saya tersenyum sendiri mengingat soal “Inspirasi Batin dan
kemungkinan efek manja” yang waktu itu dibahas. Saya membaca ulang
tanggapan Romo Haryono dan menemukan kebijaksanaan yang menyejukkan.
Kebijaksanaan itu menyejukkan karena pertama-tama lahir dari kesederhanaan dan
kesaksian hidupnya sendiri selama tinggal di Seminari Tinggi St. Paulus, tidak sekadar dari pengetahuan, budi, atau kepandaian. Kenyataan
ini sering tak disadari: yang mengesan di hati orang adalah kebaikan dan ketulusan
hati yang berasal dari dalam dan bukan atribut-atribut luar,
entah kegantengan atau kecantikan, kepandaian, entah harta benda. Tanggapan Romo
Haryono ditulisnya sebagai seorang imam yang menempatkan
dirinya tidak subordinat dengan para frater yang waktu itu ia
pandu (merasa superior), tetapi sederajat sebagai kawan yang lebih berpengalaman dan percaya kepada mereka. Bagi imam yang bijaksana, fokus utamanya tentu adalah pelayanan umat beriman yang dapat semakin baik.
Sekarang pesan itu memang sudah tidak relevan bagi saya.
Namun, kebijaksanaan di balik pesan itu tetap memancar dan, tidak saya sangka, membasahi tanah kering di hati saya. Semoga tunas-tunas kepedulian untuk olah
rasa dan batin kembali tumbuh dalam hidup saya. Terima kasih, Romo!