18 July 2015

Coincidence

Ibu saya ulang tahun hari ini; begitu pula dengan perempuan yang dulu pernah saya sukai. Sial memang, lalu mau lupa bagaimana. Coba jawab pertanyaan saya: bagaimana mungkin kamu melupakan mantanmu kalau tanggal ulang tahunnya sama dengan ulang tahun ibumu? Perempuan itu bukan mantan saya sih, malah sebenarnya sayalah yang jadi mantan dia: mantan fanboy. Bahwa saya tidak pernah lupa padanya, selain karena persoalan tanggal ulang tahun itu, mungkin juga karena dia adalah perempuan yang saya suka sebelum saya masuk seminari.

Jadi, kebetulan itu namanya. Coincidence. Dulu pas masih tergila-gila, senang sekali saya pada kebetulan soal ulang tahun ini. Bagaimana tidak, kan saya jadi tidak perlu susah-susah mengingat tanggal ulang tahun perempuan yang saya suka? Sekarang lain. It means nothing. Atau kalau boleh dihaluskan, bolehlah pinjam kata-kata Johan Cruyff, "Coincidence is logical". It is not something supernatural. Kebetulan itu sekarang sekadar bermakna dua orang penting dalam hidup saya diberi anugerah hidup baru. That's all.

Pertama, ibu.

Ibu datang ke tempat tinggal saya di Purwokerto pagi ini. Ia mengajak saya pergi ke Semarang untuk menengok kakek yang sedang sakit. Ketika beliau datang, wajah dan senyumnya berpendar terkena matahari pagi. Sambil saya rangkul lengannya, saya berkata, "Selamat ulang tahun ya, Bu." Lalu saya berikan kado sederhana yang saya siapkan. Sebuah poster karikatur beliau.


Beliau tampak gembira mendapatkan kejutan kado itu. Mungkin karena cinta dan perhatian saya beliau rasakan. Atau bisa jadi juga karena beliau merasa karikaturnya mirip dan lucu. Melihatnya, saya lebih bahagia. Kado saya sukses, batin saya. Credit untuk Pak Yani yang membuatnya. Beliau bisa menafsir foto dan menterjemahkannya dengan amat baik. Foto yang saya serahkan pada beliau sebenarnya ini:


Nah, lain kan dengan hasilnya. Sebelumnya saya sendiri coba edit pakai Photoshop. Hasilnya kalah jauh dengan buatan Pak Yani. 


Itulah ibu, perempuan sederhana terpenting dalam hidup saya. Beliau tidak suka mengatur, tetapi perhatiannya sampai ke ujung rambut suami dan anak-anaknya. Beliau tidak cerewet dan banyak bicara, tetapi hidup beliau hayati dengan sukacita dan ceria. Saya tidak akan mengatakan beliau ibu yang sempurna atau terbaik, sebab saya tidak ingin ibu diperbandingkan dengan siapapun. Yang ingin saya katakan adalah bahwa beliau telah melakukan sejuta hal-hal kecil dalam hidup saya. Dan persis, itulah mengapa beliau menjadi salah satu yang terbesar dan terpenting dalam hidup saya.
 
Kedua, perempuan yang pernah saya suka.

Mengapa dia penting dalam hidup saya? Sebab dialah yang membuat saya tumbuh dewasa soal cinta. Awalnya memang cinta monyet, katakanlah begitu. Saya suka dia karena dia cantik. Tetapi, semakin waktu saya semakin sadar, dia lebih daripada sekadar kecantikannya. Dia seperti jelmaan Dewi Amba dalam novel Antara Kabut dan Tanah Basah. Yang tak terengkuh justru membimbing Dewabrata untuk memahami cinta. Perempuan yang saya cinta ini tidak mencintai saya. Tetapi, dia tidak menolak atau membenci saya hanya karena saya mencintainya. Itu sangat saya syukuri dan hargai. Bukankah tak terhitung di dunia ini orang-orang yang terluka justru oleh orang yang ia cinta? 

Ia bahkan memperhatikan hidup saya. "Peristiwa surat" ketika saya menjalani tahun kedua di Seminari Mertoyudan misalnya. Sebelumnya saya sama sekali tidak pernah membayangkan ia, sebagai orang muslim, berani untuk mengirimkan surat pada saya yang calon imam di seminari. Tetapi ia melakukannya. Dan saya girang bukan kepalang. Malam itu juga saya baca suratnya di dalam kamar mandi. Jauh di dalam lubuk hati, saya terharu dan berterimakasih pada Tuhan. Saya benar-benar tidak mencintai orang yang salah.  

Saya bahagia ketika dia menikah pada tahun 2008, tahun ketika saya mulai menempuh studi di Yogyakarta. Saya bahagia ketika melihat hidupnya mapan dan berkecukupan. Saya bahagia melihatnya menempuh studi kebidanan dan kedokteran dan dapat lulus dengan baik. Juga, ini penting, saya bahagia melihat diri saya sendiri dalam beberapa tahun terakhir ini telah berhenti mencintainya. 

Saya telah mencintainya selama kurang lebih 10 tahun sejak pertama melihatnya pada bulan Agustus tahun 2001. Tiga tahun setelah ia menikah, saya bisa mengatakan saya sudah tidak mencintainya lagi, kendatipun saya masih memerhatikan hidupnya.

Itulah sebabnya ketika dia mengatakan perpisahan dengan suaminya di Instagram, saya yang benar-benar tidak tahu apa yang sebenarnya sedang terjadi, menjadi penasaran. Setahu saya, hubungannya dengan suami baik-baik saja, seperti tampak dalam foto ini.

Semoga mereka segera mendapatkan momongan.

Tetapi, foto yang terakhir diunggahnya lain dengan beberapa foto sebelumnya. Selain penasaran dengan maksud perpisahan yang ia maksud, saya juga penasaran dengan semua komentar yang masuk. Berikut foto dan komentarnya:



Ah, entahlah. Saya benar-benar buta akan akan kehidupan rumah tangganya. Meski demikian, saya berharap rumah tangganya baik-baik saja. Semoga Tuhan melindunginya.