Cinta seperti Hujan

Cinta seperti hujan. Sebagaimana sentuhan pertama hujan pada tanah menciptakan bau yang selalu dirindukan, demikianlah cinta menyentuh seseorang pertama-tama pada hatinya; dari hati itu muncul keberanian dan kerinduan yang aku tak tahu mana yang lebih besar.

Musim hujan ini datang terlambat. Aku sudah hampir putus asa dengan debu tanah yang terbang ke mana angin membawanya: kamarku. Kalau aku siram taman di samping kamarku, debu tanah itu hanya berhasil dibuat pingsan sementara. Ia akan segera siuman, menyadari siapa yang harus dilawan, dan melakukan serangan balasan. Ia semakin garang menyerang, membawa serta semakin banyak kawan.

Setelah sekian lama, akhirnya hujan itu datang. Kedatangannya membasahi taman dan melumpuhkan pasukan debu tanah itu, sekaligus hatiku dibuatnya basah kuyup. Aku tidak akan lagi mengatakannya “kehujanan”, sebab istilah itu memanipulasi makna seolah-olah hujan tidak aku kehendaki. Aku akan menyebutnya “memeluk hujan”, sebab aku menyambut hujan yang datang dengan penuh kegembiraan. Hujan pemberian Tuhan, dan harus bagaimana lagi aku selain memeluknya dengan keterbukaan anak-anak yang senang bermain hujan? Demikianlah hatiku basah kuyup karena hujan. Aku tidak akan menolaknya sekadar dengan payung rasionalitas. Aku menerimanya dengan gembira; sadar bahwa suatu ketika musim hujan ini akan berakhir. Rasionalitas berbeda dengan kesadaran.

Tanah bukanlah bunga. Pada dirinya ia tidak memiliki keindahan dan keharuman. Orang-orang telah luput memerhatikannya. Tidak ada satupun di dunia yang memberi kekasihnya tanah sebagai ungkapan cinta. Semua memilih bunga. Padahal, tanahlah yang memungkinkan tumbuhan hidup dan bunga mekar pada cabang-cabangnya. Ia juga sering dilupakan orang, tak peduli kenyataan bahwa kepadanyalah orang bersemayam selama-lamanya ketika mati. Orang-orang bahkan cenderung lebih memilih mencintai air, lebih memilih Misool, Santorini, atau Bora-Bora sebagai tempat impian untuk dikunjungi sebelum mati, dibandingkan dengan mencintai tanah, yang sebenarnya lebih memberi kepastian bahwa mereka takkan tenggelam dengan berpijak di atas punggungnya.

Dan ketika hujan datang, tidak ada yang memerhatikan hati ini seperti halnya mereka mengabaikan tanah. Mereka tidak memerhatikan hati yang berdebar lebih cepat saat tanganku basah. Mereka tidak memerhatikan hati ini memerintahkan mata untuk mencuri gerimis. Mereka mengabaikannya dan aku tidak peduli. Ah, tiba-tiba aku ingat kutipan yang indah dari penulis kontemporer terkenal dari Jepang, Haruki Murakami. If you remember me, then I don’t care if everyone else forgets. Jika hujan membuatnya ingat, maka aku tidak peduli lagi akan semua yang mengabaikannya.

Dari tanah yang basah karena hujan pertama, muncul bau yang selalu dirindukan itu. Dari hati yang basah kuyup karena hujan pertama, ada keberanian dan kerinduan yang aku tak tahu mana yang lebih besar.

Cinta seperti hujan.

Hendy Kiawan a.k.a Aseng

Saya tidak tahu apakah "korespondensi aneh" ini pantas diungkapkan dalam media ini. Memang sedikit nyleneh karena waktu itu sebenarnya kami semua masih tinggal di satu atap. Berkunjung dari satu kamar ke kamar lain hanya butuh beberapa detik saja.

Tapi, memang laki-laki lain dari perempuan. Perempuan mudah bercerita mengenai isi hatinya. Laki-laki tidak. Naluri alamiah laki-laki menyimpan perkara di dalam hati. Seperti Maria, yang menjadi kekecualian bagi kaum perempuan. Kekecualian karena Maria memiliki keberanian dan kekuatan yang tak semua perempuan, bahkan juga laki-laki, miliki. Ia bertindak tidak berdasarkan naluri-naluri kodrati, tetapi berlandaskan iman yang kuat. Iman itu yang memungkinkannya menyimpan segala perkara di dalam hati. Memendam dalam keheningan seperti biasanya seorang laki-laki lakukan. Terpujilah engkau di antara wanita.

Karena laki-laki tidak biasa mengungkapkan isi hati itulah, ada "korespondensi aneh" ini. Kami mengenalnya dengan istilah Correctio Fraterna (CF). CF biasanya berisi penilaian tertentu kepada seorang teman. Jadi, misalnya CF dilakukan dalam kelompok beranggotakan delapan orang, masing-masing orang akan menerima tujuh penilaian (dari tujuh teman) dan mesti membuat tujuh penilaian (untuk tujuh teman). Kami sepakat CF dilakukan dalam bentuk surat pribadi. Rasanya bentuk itu lebih manusiawi daripada sekadar poin-poin penilaian.

Di sini, saya ingin berbagi korespondensi saya dengan salah satu sahabat saya, Hendy Kiawan. Saya sudah bersahabat dengannya selama sebelas tahun. Terhitung sejak tahun 2003, ketika kami masuk ke Seminari Mertoyudan. Apa yang ia tulis dalam surat menyentuh hati saya. Sebaliknya, katanya sih, apa yang saya tulis juga menyentuh dia. Jadi sama-sama trenyuh, hehe. Tahun 2014 ini, dia memutuskan mengundurkan diri dari proses pendidikan calon imam. Banyak yang merasa kehilangan, termasuk saya. Suasana di seminari tidak pernah sama setelah ia pergi. 

Berikut isi surat yang ia tulis.

Fr. Igo Milandi

Ndut...

Sing pertama aku njaluk ngapura ya. Awake dhewe kan wis bareng-bareng saka MP, berjuang bersama, gelutan bareng, mangan bareng, kelon bareng. Apa-apa bareng, nganti arep mbuka warung sengsu wong loro. Tapi ya pie maneh Ndut, kayane aku kudu mutuske metu. Koe kan ya sing pisanan tak critani pengolahan uripku sak bubare wawancara karo Rama Rektor ndisik.

Ndut, pokoke aku njaluk ngapura sik nak tau salah karo kowe. Mungkin, omonganku sing nglarani ati termasuk tingkah lakuku sing kadang nganeh-anehi. Ya wis dianggep kosong-kosong meneh wae, he..he... Suk ra tak baleni maneh ndemok susu wis...wkwkwk kecuali nak pas mendem bareng. 

Su... aku yakin og timbalanmu mantep banget dan kamu sudah memperjuangkannya dari dulu. Urip ning komunitas ya iso memberi warna dengan segala tingkah laku dan keimutanmu. Nggo aku, kowe ki wonge teges banget. Mawar (bukan nama sebenarnya) wae nganti wedi banget karo kowe he..he..he... Padahal kan kowe Levirat'e de'e wkwkwk. Bar kuwi lagi jatahe Ridwan.

Mbok'o kowe sok cuwek ngono kadang-kadang, tapi sejatine kowe sayang banget karo kanca-kanca angkatan. Suwun ya. Karo keluarga uga sayang banget. Ya kuwi dadi modal sisuk nak nresnani umat sing dipasrahke Gereja marang kowe. Sing cetha aku bersyukur banget duwe kanca kaya kowe Ndut. 

Suk nak dadi rama aja lali karo aku ya Ndut. Santai wae tahbisan kok ning mbuh kapan ha..ha..ha... Tapi pas retret kowe kan ngomong dewe wingi nak arep membuka pintu selebar-lebarnya pada rencana Allah. Lha kuwi sing saiki tak rasakke. Kadangkala rencana Allah kerep nganeh-anehi lan ora iso diprediksi. Tapi aku yakin og Ndut, endinge mesti gawe bungah. Santai wae, mbok repote kaya ngapa nak kowe mantep dadi Rama ya dilakoni wae. Ndut, meski bakale akeh kejutan-kejutan tak terduga. 

Ndut, tambah sregep sembahyang ya. Aja lali nyembahyangke aku lan kanca-kanca. Justru pas posisi hidup tanpa kejelasan kaya aku ngene ki jaminane mung iso sembahyang lan njaluk disembahyangke. Muga-muga kowe uga bisa ningkatke rasa kepedulian marang wong-wong ning sak kiwo tengenmu. Santai wae, kowe nduwe potensi nggo ditresnani wong og. Nyatane aku karo kowe ora iso nesu he..he..he...

Saiki aku serius ki Ndut... Aku mbok titip Jaran Iman Ndut... Tenan Su... Kelingan jaman semono. Nak dewe ditunggoni kakak kelas kuwi rasane ayem. Ya pisan pindo ngetok. Syukur-syukur iso melu proses saka refleksi nganti tampilan. Ya aku reti sih, suk tingkat VI bakale sibuk. Ning nak ra kowe arep tak titipke sapa maneh. Kelingan ra jaman semono dewe tau etok-etok dolanan watak sok-sokan teater di mana-mana, wkwkwk

Suwun ya Ndut, pisan maneh

aku bersyukur duwe kanca kowe.

Dan berikut cuplikan dari surat yang saya tulis untuk Aseng:

rumangsamu dhewe wis kekancan pirang tahun seng, saiki kowe arep metu? ibarate nak kekancanane dhewe duwe anak, anak kuwi wis kelas lima SD, seng.

aku wis pernah kelara-lara ditinggal metu megandika, zum-zum juga, saiki kowe. ra tau kepikir kepiye anggonku nguripi panggilan nak ra ana kowe to, seng? ket ndhisik kowe mung takon terus, “ndut, nek aku metu piye?” ngapa kowe ora takon, “nek aku metu, gendut piye ya?”

asu pancen. dalane Gusti kok abote kaya ngene. aku tansaya dina tansaya sadar, seng. sing marai dalane Gusti ki abote ra eram ki dudu apa sing kita tinggalkan, tapi apa sing meninggalkan kita. gusti Yesus mungkin pas nang Getsemani ya merga kuwi rumangsa abot, merga arep ditinggalke murid-muride. pas nang salib, yesus nganti omong eloi eloi lama sabakhtani. gusti Yesus rumangsa ditinggalke karo Bapa.

saiki piye enake? aku ra takon piye apike soale keputusanmu metu ki wis apik, seng. tak dukung 100 persen. sanajan mungkin aku ora paham tenan, karang yo aku goblok, ning selama kowe karo aku bareng ning seminari minimal aku ngrasakke percikan-percikan pergulatanmu. aku percaya emanuel, gusti tansah ngamping-ampingi dhewe, apa maneh bapakku jenenge emanuel judi marsana. emanuel juga pas kowe mutuske metu, emanuel pas kowe nglakoni dalanmu sing anyar. aku ya percaya nak kowe bakal sukses, seng, luwih sukses timbang dono apa joko. jadi harapan itu ada.

aku takon piye enake. piye apike wis jelas, wis kejawab. saiki urusane karo piye enake? enak nggo kowe, enak nggo aku. kuwi pertanyaan sing durung kejawab. mungkin dhewe kudu nenggak bekonang sik ben isa njawab kanthi bungah gambira.

Semoga Tuhan melindungi dan memberikan berkat melimpah untukmu, Seng. Gek kangen ki karo kowe. Pengen mendem bareng.