09 June 2013

Kebaikan yang Tersembunyi


Saya ingat bagaimana belajar bersepeda roda dua. Dua roda kecil yang mengapit roda belakang dilepas, dan hati ini rasanya lepas bersama mereka. Bapak meyakinkan saya bahwa ia akan selalu menjaga saya supaya tidak terjatuh. Betapa mulia janji bapak. Janji itu saya percaya, saya masukkan ke dalam sanubari, kian bertambah keberanian saya untuk mencoba.

Ketika saya mencoba, saya sama sekali tidak menemukan keseimbangan. Saya belum mampu menemukan ritme yang tepat. Namun, saya merasa aman. Selagi saya mengayuh dan mencari keseimbangan itu, bapak memegang sepeda saya dari belakang. Janji seorang ayah senantiasa bisa dipercaya.

"Terus kayuh, terus, terus kayuh!" bapak tidak berhenti menguatkan saya dari belakang.

Saya pun semakin bersemangat mengayuh. Pedal sepeda saya tekan, putar, dorong ke depan, seiring badan saya yang bergoyang-goyang. Tetapi, yang terburuk yang tidak terlintas dalam benak kemudian terjadi. Ketika saya menoleh, bapak sudah berada jauh di belakang saya. Beliau tersenyum lebar sampai gigi-giginya kelihatan. Saya kelimpungan. Panik seketika.

Bisa ditebak. Sepeda saya langsung oleng mengikuti pendirian saya yang roboh. Bapak macam apa beliau? Bagaimana saya bisa mempercayai kata-katanya? Apa artinya perbuatannya ini? Seribu tanya harus saya gulati bersama perih luka yang membuat saya meringis.

Saya sudah tidak ingat berapa lama waktu yang saya butuhkan sejak saat itu untuk bisa bersepeda roda dua. Yang jelas, peristiwa jatuh dan terluka itu membuat saya segera mampu bersepeda roda dua.

Bapak telah memberikan pelajaran yang sangat berharga bagi saya. Hidup ini keras. Tuhan bukanlah pengawal yang tidak membiarkan kita terjatuh. Kadangkala kita terjatuh berulang kali, dan meskipun kita mempertanyakan kebijaksanaan-Nya, kebaikan tersembunyi yang Ia siapkan untuk kita senantiasa nyata.