20 June 2022

Jalan Cahaya Wisanggeni

There is a crack, a crack in everything

That's how the light gets in


Kutipan itu berasal dari lagu “Anthem” yang dipopulerkan oleh Leonard Cohen. Yang retak, patah, atau terpecah, justru menjadi jalan masuk cahaya, ibarat kirana yang menembus ruang gelap gulita justru melalui celah-celahnya.

Wisa geni, atau Wisanggeni, juga menyandang kerapuhan ini sejak awal kehidupannya. Ia dipisahkan dari rahim Batari Dresanala sebelum waktunya dan dibuang ke tengah-tengah kawah Candradimuka oleh Batara Brahma, kakeknya sendiri. Membuang bayi ke tengah api jelas merupakan upaya pembunuhan. Batara Brahma sebagai Dewa Penguasa Api berusaha membinasakan cucunya sendiri dengan api.













Sebagai konteks, tindakan Batara Brahma yang keji itu merupakan perintah langsung Batara Guru, raja para dewa. Dari sinilah kita tahu dari mana konspirasi bajingan itu berasal. Batara Guru dihasut oleh Batari Durga, istrinya, untuk melenyapkan bayi itu, karena Dewasrani, anak Batari Durga, cemburu pada Arjuna, ayah Wisanggeni, dan ingin memperistri Batari Dresanala, ibu Wisanggeni.

Hawa nafsu dan kelakuan jahat para dewa ini tidak bisa diterima oleh leluhur para dewa, yaitu Sang Hyang Wenang. Ia akhirnya masuk sebagai “cahaya” ke dalam kerapuhan bayi Wisanggeni. Sang Hyang Wenang memberikan perlindungan dan kekuatan kepada Wisanggeni sehingga selamat dari keganasan kawah. Alih-alih membunuhnya, kawah Candradimuka justru membentuk Wisanggeni menjadi kesatria dengan kesaktian tanpa tanding.

Dalam kisah pewayangan Jawa, Semar menuntun Wisanggeni untuk keluar dari kawah, memberi pemuda itu nama Bambang Wisanggeni, serta memberikannya petunjuk untuk menegakkan keadilan atas kebobrokan para dewa.

Wisanggeni naik ke Kahyangan Suralaya. Kahyangan diobrak-abrik. Amukan Wisanggeni tak bisa dihentikan oleh dewa mana pun. Semua dewa yang ditemui dan tak bisa memberikan penjelasan atas jati dirinya dihajar habis-habisan. Batara Guru yang diam seribu bahasa tak luput dari amukan. Hujan badai guntur dan api yang Batara Guru hempaskan tak mempan di tubuh Wisanggeni. Batara Guru pun melarikan diri dari kahyangan; menjadi buron dan bulan-bulanan Wisanggeni. Batara Guru akhirnya meminta perlindungan pada Prabu Kresna dan Werkudara.

Ketika akhirnya Wisanggeni berhadap-hadapan dengan Prabu Kresna dan Werkudara, ia tak ciut hati. Adu mulut tak bisa dihindari, sampai akhirnya Semar datang menjadi penengah dan memberitahu bahwa mereka satu sama lain adalah saudara. Werkudara terpukau melihat anak Arjuna yang sakti mandraguna, ndugal kewarisan, tidak memiliki tata krama ini. “Wah, Arjuna duwe anak gentho.”

Singkat cerita, Batara Guru mengakui kesalahannya pada Wisanggeni dan meminta maaf. Hanya karena mereka adalah dewa, tak berarti apa yang mereka pikirkan dan lakukan selalu benar. Ini akhirnya jadi semacam weling bagi kita, bahwa sebaik-baiknya manusia dengan budi dan seluruh pertimbangannya, bukankah yang paling esensial adalah eling lan waspada, senantiasa sadar dan kritis?

Wisanggeni juga menunjukkan bahwa apa yang remuk redam tak menentukan jati diri kita. We may be broken as hell, but we can be whatever we want to be nevertheless. Gusti boten sare lan tansah paring pitulungan.

Secara personal, Wisanggeni adalah karakter wayang yang menghadirkan ingatan akan Bapak. Setelah saya lulus SMP, sebelum melepas saya ke tempat pendidikan yang jauh dari rumah, Bapak sempat mengatakan, “Kowe ki kaya Wisanggeni, mlebu nang kawah Candradimuka.” Bapak tahu saya waktu itu belum mengerti siapa Wisanggeni, tapi hal itu tak terlalu ia pikirkan.

Kalau hal itu kemudian sekarang saya refleksikan, Bapak mempunyai poin mengatakan hal itu. Tentu saya tidak jadi sakti seperti Wisanggeni, tetapi setidaknya saya mengerti, bahwa seperti apa yang Wisanggeni alami, kerapuhan adalah bagian dari kemanusiaan kita. Tak perlu dikutuk, tak perlu juga dirayakan. Terimalah kerapuhan kita sebagaimana adanya. Di sanalah terbuka jalan bagi cahaya yang akan menyelamatkan kita.

Wisanggeni juga membangkitkan ingatan saya akan Bapak karena dalam pementasan wayang, ia kerap tampil bersama kesatria sakti lain, yaitu sepupunya bernama Raden Antasena, anak Werkudara yang urakan dan kerap Wisanggeni panggil sebagai cah edan—yang menjadi karakter wayang idola Bapak. Bersama Antasena, Wisanggeni disebut sebagai satriyo ndugal kewarisan. Dua-duanya ora isa basa, tetapi jernih budinya dan senantiasa mengutamakan kebenaran. Kesaktian Wisanggeni dan Antasena sejajar, tetapi jauh melampaui anak-anak Pandawa yang lain. Bagaimana tidak, dua kesatria ini pernah ngobrak-abrik Kahyangan dan menghajar para dewa.













Kredit saya haturkan setinggi mungkin pada para pujangga Jawa yang menciptakan karakter-karakter wayang ini, yang menurut Wikipedia, tidak ada di naskah wiracarita Mahabharata karya Krishna Dwaipayana Byasa dari India. Nama "Wisanggeni" dan “Antasena” juga tidak ditemukan dalam naskah Mahabharata berbahasa Sanskerta (terjemahan Kisari Mohan Ganguli). Dengan kata lain, karakter-karakter wayang ini adalah wayang asli Jawa. Kredit juga saya haturkan pada almarhum Ki Seno Nugroho, dalang humoris dari Yogyakarta, yang sangat kompeten dalam menghidupkan karakter Wisanggeni dalam pementasan wayangnya.